BAGIAN
I
Berjalan
melintasi rimba, menelusuri jalan setapak. Gesekan daun daun kering
menuntun langkahku yang berteduh di balik ranting ranting pohon agar
poriku tak tergores matahari. Perjalanan ini sangatlah jauh dan
melelahkan, namun, angin memberiku kekuatan untuk tetap bertahan
menuju kilau di seberang sana. Kilau yang begitu terang dan
menyejukan.
Aku
dilahirkan dan dibesarkan bukanlah dari keluarga kaya. Beruntung
sekali ada keluarga yang baik hati memberi beasiswa kepadaku untuk
melanjutkan kuliah di Trisakti. Ibuku adalah seorang janda yang
bekerja pada sebuah panti asuhan anak terbelakang mental yang
lokasinya hanya berjarak 10 menit dengan berjalan kaki dari rumah
kontrakan kami.
Ibu
dapat dikatakan agak pendiam dan tertutup mengenai kehidupan masa
lalunya, bahkan hampir tidak pernah menceritakan siapa ayahku yang
sebenarnya. Ibu hanya pernah bilang bahwa ayahku meninggal karena
sakit sebelum usiaku genap 1 tahun dan sejak saat itu ibu tidak
pernah menikah lagi, bahkan foto ayahkupun ibuku tak punya. Sejak
masa kecilnya ibu lebih banyak menghabiskan waktunya di Panti Asuhan
tersebut dan belum pernah tau siapa ayah ibunya, jadi sampai usiaku
yang kini sudah mendekati 21 tahun ini aku juga tidak pernah tau
siapa kakek nenekku.
Aku
yakin masakan ibuku adalah yang ternikmat di dunia. Sambil menyantap
ikan goreng dan tahu bacem saat makan malam, aku bilang “bu, mulai
besok aku sudah liburan semester jadi rencananya aku mau ikut ibu ke
Panti untuk bantu bantu di sana”.
Lalu
kata ibuku “oh…iya Roy, boleh saja” “Kebenaran Ibu Sumiati
baru saja mengundurkan diri dan pulang ke kampungnya di Jember
kemarin.
Ibu
Sumiati adalah sahabat baik ibuku yang sudah mengabdi di panti asuhan
tempat ibuku bekerja, selama lebih dari 10 tahun.
Di
setiap kesempatan ngobrol bersama, ibuku sering menanamkan petuah
petuah nya ke dalam diriku. Ibuku bilang bahwa untuk melakukan segala
perbuatan baik janganlah pernah melihat apa agamanya, sukunya,
bangsanya atau bahasanya. Kitapun tidak harus terperangkap dengan
berbagai perdebatan agama ini dan agama itu karena agama apapun yang
pengajarannya bersumber dari Allah Sang Pencipta akan mengajarkan
suatu kebaikan, kebenaran, dan kelemah lembutan.
lentera
malam bergayut dalam sunyi
menyelusuri
makna kehidupan
lembaran
syair tersulam
menuntun
langkah menuju kebijaksanaan
Seperti
biasa, setelah selesai sholat Subuh kami mempersiapkan diri lalu
berangkat menuju Panti karena Ibu harus menyiapkan sarapan pagi untuk
para penghuni Panti.
Terkadang
aku berpikir kenapa Allah
menciptakan mereka dengan serba kekurangan sedangkan Allah
yang ku tau adalah Alah yang
Maha Adil dan
Maha Kuasa, tetapi apakah dengan semua yang ada ini kita masih
menganggap Allah itu
adil terhadap
semua ciptaan-Nya ? Sedangkan di sisi lain
Allah menginginkan
umat-Nya berbagi kasih terhadap sesama. Ah.......itu hanyalah pikiran
Iblis yang ingin menjauhkanku dari Sang Pencipta.
Yang
kutau, ibuku tidak pernah sekalipun mengeluh mengenai pekerjaannya.
Beliau justru selalu menunjukan
keceriaan dan
kesabarannya ketika harus berhadapan dengan anak anak cacat di Panti.
“Roy,
tolong kamu ke Ibu Tarsih untuk minta
beberapa box diaper karena persediaan di laci sudah hampir habis”
seketika ibu menyuruh
aku yang baru
saja selesai menyuapi makan seorang anak
berusia 6
tahun yang lumpuh total sejak lahir. Akupun
segera menuju ke Ibu Tarsih bagian penyediaan kebutuhan pakaian
termasuk diaper dan meminta beberapa box diaper untuk diisikan ke
laci lemari di ruang bermain.
Ada
kepuasan tersendiri dalam hal mengurus anak
anak cacat mental di Panti dimana kepuasan
itu tidak dapat dibeli dengan uang.
Dalam
perjalanan pulang ke rumah, kami perhatikan
di pinggir jalan masih terlihat
banyak umbul umbul Partai Politik yang baru selesai melakukan Pemilu.
Harapan kami siapapun yang terpilih mereka akan menjadi wakil rakyat
yang amanah dan menepati sumpah janji mereka untuk mensejahterakan
rakyat dan berpihak pada rakyat kecil.
Ibuku
berkata “Roy, ternyata untuk menjadi pejabat itu harus punya modal
banyak yah”. “Apalagi mereka juga bagi bagi uang kepada rakyat
agar dipilih” sambungnya.
“Iya,
bu, berarti Roy tidak bisa jadi pejabat negara nih ?” gurauku
kepada ibu.
“Lhooo…..siapa
tau nasib orang, Roy. Hari ini roda ada di bawah esok lusa ada di
atas” kilah ibuku.
“Memangnya
ibu ada minat untuk jadi Anggota Dewan kah ha…ha…ha… ?”
gurauku
“Tidak
lah Roy, ibu sudah tua jadi biar ibu berikan
kesempatan kepada kaum muda he…he…” kata ibuku.
“Ternyata
ibuku ini pintar ngeles juga yah” pikirku.
Sepanjang
jalan bahkan setibanya di rumah kami masih bergurau sekedar melepas
lelah setelah seharian bekerja di Panti hingga azan mengingatkan kami
untuk ber-sholat Maghrib.
dulu
sering kutatap luar jendela
melihat
cakrawala meramu senja
sambil
melamun menggapai cita
hingga
azan magrib memanggilku tuk berdoa
BAGIAN
II
Tidak
terasa 2 minggu sudah aku membantu ibuku bekerja di Panti. “Ternyata
2 minggu cepat juga, kenapa kalau di kelas baru 1 jam saja sudah
seperti sebulan rasanya” pikir konyolku.
Saat
itu kira kira jam 10 pagi, tiba tiba ibuku tergopoh gopoh
menghampiriku dan berkata “Roy, coba tolong kamu
lihat di luar sepertinya ada suara ribut ribut”. Dari ruang bermain
anak, kulihat seorang pria tegap mengayun
ayunkan kelewang sambil
teriak teriak tidak jelas. Rasa penasaranku kian
menjadi.
“Pak
Broto, ada apa di luar ?” tanyaku kepada salah satu karyawan Panti.
“Oh......itu
Pak Lurah ngamuk karena tidak terpilih menjadi anggota dewan”
sahutnya.
Lurah
kami adalah mantan seorang jawara yang disegani
dan banyak pengikutnya. Beliau memiliki
banyak tanah dan
rumah rumah petak
yang disewa sewakan kepada warga
setempat dan “memelihara” centeng
tukang tagih. Para centeng yang sebagian besar adalah para preman
pasar yang sering
melakukan aksi onar tapi anehnya mereka tidak pernah ditangkap
Polisi, seandainya masuk penjarapun paling paling cuma 1 hari bebas
lagi berkeliaran.
Aku
bergegas lari ke luar karena ada beberapa anak yang terperangkap di
halaman. Suster Fransisca, Kepala Panti Asuhan berusia 73 tahun
keluar dan berbicara dengan Pak Lurah yang sedang mengamuk.
“Mohon
maaf, Pak Lurah, tempat ini
hanyalah panti asuhan anak anak cacat. Kami
seluruh penghuni panti
asuhan sangat
memohon kepada bapak untuk menenangkan diri” pinta Suster
Fransisca.
“Selama
5 tahun ini saya berikan perlindungan dan sumbangan kepada panti
asuhan ini, tapi lihatlah apa yang saya dapat ?? APA, Suster ?? APA
?” bentak Pak Lurah dengan mata melotot. “Saya tidak lolos
menjadi anggota dewan. Itukah imbalan yang harus saya terima ?”
tambahnya.
“Sabar,
Pak, sabar” kembali Suster
Fransisca memohon sambil
merapatkan jari jemari kedua tangannya
Pak
Lurah semakin kalap dan beringas “APANYA YANG
SABAR ?? biar saya bakar panti ini dan biar saya mati bersama dengan
anak anak cacat itu semua”, sambil mengayun ayunkan
kelewangnya dan sebuah jerigen yang aku yakin berisi bensin.
Kami
semua yang bekerja di panti ketakutan dan sedang menanti bantuan
petugas Polisi yang masih belum datang padahal sudah ditelphone
beberapa kali. Para Suster dan karyawan lainnya termasuk ibuku
mengajak anak anak masuk ke dalam panti dan bersembunyi. Namun, Maria
seorang anak perempuan di kursi roda tertinggal dan posisinya persis
berada di belakang Pak Lurah yang sedang mengamuk. Beberapa warga
setempat sudah berkerumun di halaman panti dan berusaha untuk
menenangkan Pak Lurah, tapi tidak ada yang berani mendekat karena Pak
Lurah mengayunkan kelewangnya kepada siapapun yang mendekat.
Melihat
situasi yang sudah mengkhawatirkan itu, aku merasa harus melakukan
sesuatu.
jantung
berdebar
darah
deras mengalir
panas
bergelora
biarlah
hujan turun ke bumi
meredupkan
bara di lubuk hati
Sambil
mengucapkan “bismillahirrahmanirrahim, hanya kepada-Mu ya Allah aku
berlindung dan kusandarkan jiwaku”, kumantabkan langkah mendekati
Pak Lurah dan Suster Fransisca untuk ikut mencari jalan keluarnya.
Begitu
melihatku mendekat, Pak Lurah melotot dan membentakku “MAU APA LUH
BANGSAT !! MAU JADI JAGOAN LUH ?? HAAA….?? SINI GUE TEBAS KEPALA
LUH !!” sambil mengayunkan kelewangnya dan bergegas ke arahku.
Seumur
hidupku, aku tidak pernah berkelahi bahkan tidak pernah belajar ilmu
bela diri. Aku bukanlah seorang pahlawan apalagi seorang jagoan,
tetapi aku yakin Allah yang kusembah adalah Allah yang pengasih
penyayang yang akan memelihara umat-Nya yang lemah dan melindungi
yang tersudut.
Ketika
posisi Pak Lurah sudah agak menjauh dari Maria anak berkursi roda
yang tertinggal, beberapa warga menjemputnya dan segera
menyelamatkannya.
Dengan
perasaan takut kucoba terus melangkah maju sambil merapatkan kedua
telapak tanganku di depan dada.
Lalu
aku memelas “Pak Lurah, kami hanyalah rakyat kecil dan sangat awam
mengenai politik tapi kami sangat berterima kasih kepada bapak yang
selama ini telah berbaik hati kepada kami”.
Suster
Fransisca pun mendekatiku lalu berdiri persis di sebelahku kemudian
juga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu dengan
mata berkaca kaca Suster Fransisca berkata “Pak Lurah, kami adalah
orang orang berdosa dan sungguh berdosa, nyawa kami tiadalah artinya.
Panti asuhan ini sangat berhutang budi kepada bapak. Semoga Allah
selalu memberkati bapak”.
gunung
merata bumi
karang
tak mampu berdiri
matahari
lenyap bersembunyi
hanya
langit tegar menjadi saksi
Entah
apa yang terjadi. Pak Lurah mulai menurunkan kelewangnya dan melepas
jerigen bensinnya ke tanah. Masyarakat setempat yang sejak tadi sudah
berkerumun di halaman Panti perlahan mengambil kelewang dan jerigen
bensin dari tanah untuk diamankan sambil merangkul Pak Lurah.
Bersamaan dengan itu pasukan Polisi tiba di gerbang Panti kemudian
membawanya ke mobil Polisi.
Kejadian
menakutkan seperti ini baru pertama kali kami alami. Degup jantungku
masih berdebar, “Alhamdulillahi rabbil alamin”
lirihku perlahan sambil mengusap wajahku
dengan kedua telapak tanganku.
Lalu
dengan suara terbata bata sambil
meletakan tangan kirinya di pundakku, Suster Fransisca berkata “Puji
Tuhan semua telah berlalu. Terima kasih, Roy, Allah di Surga
senantiasa menyertaimu”.
Tampak air mata menetes deras dari sudut matanya. Tanpa terasa
air mataku mengalir dan akupun menangis, lalu kudekap Suster
Fransisca seperti aku memeluk Ibuku.
Suster
Fransisca adalah seorang Biarawati Katholik yang sudah mengenalku
sejak hari pertama aku dilahirkan ke dunia. Aku juga masih merasakan
belaian lembut tangannya di kepalaku saat beliau memangkuku dan
menggendongku.
Beberapa
puluh tahun lalu ketika Suster Fransisca masih berusia sekitar dua
puluhan, beliau menemukan seorang bayi perempuan di dalam keranjang
kusam yang tergeletak di depan pintu gerbang Panti tanpa secarik
kertaspun. Bayi perempuan tersebut dirawatnya dengan penuh kasih
sayang hingga bayi tersebut menjadi dewasa lalu menikah. Bayi
perempuan tersebut adalah ibuku...........ibu kandungku yang tidak
pernah tau siapa orangtuanya.
terpejam
mata terpatri pena
langgam
bertirai ombak bermelodi
tergenggam
nadi semburat jingga
tulus
dan murni
berkilau
mawar di dalam jiwa
BAGIAN
III
Sudah
hampir 2 bulan
aku kembali kuliah walau
perasaanku baru kemarin aku membantu ibuku di Panti. Setiap
kali aku meninggalkan anak anak Panti ada perasaan sedih dan banyak
sekali kenangan tersimpan di hati. Akupun berjanji kepada mereka
untuk selalu kembali setiap liburan semester.
“Roy.....besok
pulang kuliah ke rumah gue dong, lusa kan ada test Accounting, tolong
ajarin gue yah” kata Jonathan sambil menggandeng Martha pacarnya.
“Iya
nih Roy, ajarin kita yah, thanks lho sebelum dan sesudahnya. Nanti
kita traktir makan deh” tambah Martha.
“Ok
elu atur aja deh” sahutku.
Jonathan
(Jon) adalah anak seorang pungusaha kertas, sedangkan orang tua
Martha adalah seorang pengacara kondang. Mereka sudah saling mengenal
dan berpacaran sejak masih duduk di bangku SMA. Kami bertiga adalah
sahabat karib di kampus dan sering belajar bersama terutama menjelang
ujian. Orang tua Jon juga pernah menawarkan aku untuk bekerja di
perusahaanya dan rencananya semester depan akan kumulai bekerja
magang bersama Jon.
Keesokan
harinya selesai kuliah, kami bertiga belajar bersama di rumah Jon di
kawasan elite Menteng. Empat jam kami mengutak atik contoh soal
Accounting. Aku terus membombardir puluhan pertanyaan kepada Jon dan
Martha. Aku ingin sekali mereka mendapatkan nilai tinggi khusus untuk
mata kuliah ini apalagi Jon yang akan meneruskan usaha ayahnya kelak
setelah menjadi Sarjana.
“Aku
lapar, Jon” keluh Martha dengan manja kepada kekasihnya.
“Oh
ya kita makan malam dulu” sahut Jon yang langsung lompat meraih
kunci mobil dan dompetnya. Kami menuju Gandy Steak House di bilangan
Hos Cokroaminoto Menteng.
“Wah....jarang
jarang nih gue makan steak beginian” kataku.
“Gue
kan udah bilang tadi mau traktir luh makan” sahut Jon.
“Iya
tenang aja Roy, kan ada boss Jon yang bayar ha...ha..ha...” kelakar
Martha sambil merangkul pinggang kekasihnya. Tidak ada pembicaraan
mengenai apa yang baru saja kami pelajari sore tadi di meja makan.
Kami bertiga hanya bercerita tentang masa kecil dan ngegosip tentang
teman teman kampus. Tak terasa waktu telah menunjukan jam 9 malam dan
aku harus pulang karena besok harus bangun pagi.
“Elu
tadi sudah bilang ibu luh mau belajar di rumah gue kan, Roy ?”
tanya Jon.
“Sudah”
jawabku.
Pelayan
menghampiri kami dengan membawa sebuah bungkusan dan bon tagihan. Jon
meraih keduanya dan menyerahkan bungkusan tersebut kepadaku.
“Lho...apa
nih Jon ?” tanyaku.
“Oh...itu
Steak untuk ibu luh, ambil aja gak' apa apa” sahut Jon.
“Waaah....thanks lho Jon, atas perhatian luh untuk Ibu gue”
kataku sambil meraih bungkusan yang disodorkan oleh Jon.
Seperti
biasa kalau pulang belajar kemalaman, Jon selalu mengantarku pulang
ke rumah. Tapi karena jalan di depan rumahku tidak dapat dimasuki
mobil, jadi Jon hanya menurunkanku di jalan raya sebelum masuk 'gang
tikus'.
“Roy,
thank you sudah mau ngajarin kita berdua yah dan sampaikan salam kami
kepada Ibumu” kata Martha ketika aku hendak keluar dari mobil.
“Ok,
sampai ketemu besok di kampus” sahutku.
“eh...Roy......jangan
lupa hari Sabtu pulang kuliah kita ke Puncak makan di Rindu Alam, ok
?” tambah Jon.
“Ok”
balasku.
Aku
bukanlah orang mampu tapi aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena
aku memiliki teman teman yang baik dan sangat menyenangkan.
Setibanya
aku di rumah, ku lihat ibuku sudah terlelap tidur dan akupun sudah
sulit sekali membuka mata ini. Begitu tubuhku menempel kasur
sepertinya aku sedang menari bersama pelangi melintasi bukit
permadani hijau, gesekan padi melambai melantunkan sebuah melodi.
di
atas cakrawala
kemilau
rembulan begitu anggun
lembut
terpancar kasih
malam
memihak kepadaku
bersandar
bumi
merebah
diri
Setiap
hari Sabtu Ibuku tidak harus datang pagi pagi ke Panti karena anak
anak juga bangun agak siang. Jadi, setelah sholat Subuh kami bisa
santai minum kopi sambil ngobrol.
Waktu
sudah menunjukan jam 9:00 pagi.
“Roy.....hari
ini ibu masak cah kangkung dan tahu goreng, jangan lupa sarapan
sebelum pergi kuliah ya...” kata ibu kepadaku yang sedang berkemas
hendak pergi kuliah.
“Hati
hati di jalan yah Roy....Ibu mau ke panti dulu, nanti terlambat
kasihan anak anak” katanya lagi. Aku menghampirinya dan kucium
tangannya sebelum kupeluk tubuhnya.
“Ibu
juga hati hati yah, Roy sayang ibu” kataku. “nanti Roy dan teman
teman akan ke Puncak setelah pulang kuliah jadi mungkin Roy pulangnya
agak malam” tambahku.
“Iya
tidak apa apa asal hati hati biar tiba di Puncak dan kembali ke rumah
dengan selamat” sahut ibuku.
Pemandangan
seperti ini terjadi setiap pagi atau setiap kali kami akan berpisah
sejak aku masih di bangku sekolah taman kanak kanak. Aku tidak pernah
merasa aneh atau jenuh apalagi malu untuk melakukannya. Aku sangat
mencintai ibuku.
begitu
elok langit membiru
melambung
asap harum cendana
biarlah
yang terbaik untuk ibu
sekalipun jiwa ini keluar dari tempurungnya
Suasana
di kampus agak sepi sebab banyak mahasiswa yang tidak ambil jadwal
kuliah pada hari Sabtu.
“enak
juga hari ini ramalannya gak’ terlalu panas, nanti pulang kuliah
jadi yah kita ke Puncak ?” kata Jon.
Aku
lihat sekeliling dan ke atas sambil menjawab dan mengoloknya “boleh
juga malam mingguan di Puncak Pass nih, ajak si Martha dong
luh…he…he…”. Memang dasarnya si Jonathan gila jalan apalagi
ngajak si Martha wah makin getol aja tuh anak.
Siang
itu jalan tol Grogol ke arah Cawang macetnya minta ampun. Sambil
memutar lagu lagu Gun’s n Roses dan ketawa ketiwi di dalam mobil
nanti juga tidak terasa sampai di Rindu Alam sekalian langsung makan
malam. Ketika memasuki jalan Tol Jagorawi kemacetan agak berkurang
dan Jon pun kesenangan “busyet…..tumben nih jalan tol sepi gak’
kayak biasanya. Boleh juga nih gue tarik mumpung ini mobil baru gue
tuneup” kelakarnya.
Tanpa
terasa spidometer menunjukan angka 100. Martha yang duduk di sebelah
Jon mulai merasakan ngeri dan berkata “Jon, jangan kencang kencang
jalannya, pelanin dong aku ngeri nih”.
“Tenang
aja Mar, kan ada abang Jon yang nyetir pasti aman lah” kelakar Jon
sambil cengengesan. Bukannya diperlahan laju mobil tapi Jon malah
mempercepatnya dan spedometer sudah menunjukan angka 120, membuatku
dan Martha semakin resah.
“Pelan
pelan lah Jon” kataku.
Jon
tertawa ngakak tidak mengabaikanku sambil membesarkan volume musik di
dalam mobil.
Untung
tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Tiba tiba di depan jalan
ada seorang penjaja buah pinggir jalan tol yang menyebrangi jalan.
Jon kehilangan kendali membanting stir kanan dan kiri. Tiada
seorangpun tau apa yang sedang terjadi seketika itu. Yang kurasakan
saat itu adalah mobil kami melayang tidak lagi menyentuh aspal dan
kami seperti dibanting banting di dalam mobil.
gelombang
riuh berpesta pora
memutar
dan melempar
terguling
kerangka besi
hingga
parit terpijak kaki
gelap
gulita
sepi
suara mati
BAGIAN
IV
Mereka
mengelilingiku, beberapa laki laki dan wanita berpakaian putih putih
yang tidak aku kenal.
Kedua
kelopak mataku terlalu lemah untuk dibuka. Namun samar kulihat
seorang wanita paruh baya yang kuyakini sebagai wanita muslim yang
taat duduk di sisi kiri ranjangku sambil menggenggam erat jemariku.
Air mengembang di pelupuk matanya. Dialah yang selama ini kupanggil
sebagai Ibu.
Di
sebelah kananku, seorang wanita tua berwajah lembut yang selalu
mengenakan kerudung putih dengan kalung salib di dadanya, aku
mengenalnya sebagai Suster Fransisca.
Dengan
bibir gemetar dan suara terputus putus ibuku berkata “Roy.......ibu
tidak pernah tau siapa orang tua kandung ibu......... ibu juga telah
kehilangan ayahmu seorang yang sangat ibu cintai...........kini ibu
tidak mau lagi kehilangan orang tercinta yang tersisa dalam hidup
ini.........ibu tidak mau kehilangan kamu.......Roy..........”
“Ya
Allah Ya Rabbi....... biarlah Kau ambil nyawaku sebagai pengganti
nyawa anakku........”, sambungnya dengan isak tangis yang membuat
seisi ruang tertunduk diam membisu. Tubuhnya dirapatkan ke tubuhku
dengan wajah didekapkan ke dadaku.
Suster
Fransisca beranjak bangun dari kursinya, kemudian merangkulkan tangan
kanannya ke punggung Ibu lalu tanpa sepatah katapun beliau mencium
kepala ibuku dengan lembut penuh kasih sayang kemudian mencium
keningku hingga air matanya menetes ke wajahku.
bayang
terkaram
hening
merasuk pelosok belantara
jiwa
berbaur dengan sodetan kerak bumi
melintasi
sayatan fatamorgana
tersungkur
sauh
sujud
pasrah
berdoa
Tubuhku
kian menggigil dan kian melemah, bahkan untuk menggerakan jaripun aku
tak bisa. Tiba tiba ada suatu kekuatan yang mendorongku untuk berucap
lirih “Ibu........Roy mencintai ibu, tetapi cinta kasih
Allah kepada ibu jauh lebih besar daripada cinta Roy kepada Ibu”.
Perlahan
ibuku mengangkat kepalanya dan semakin erat menggenggam jemari
tanganku, lalu dengan teduh menatapku........dan ketika kulihat
butiran butiran bening itu mengalir deras di pipinya, seketika itu
juga ku tau itu adalah yang terakhir aku melihatnya. Kabut merayap bersama doaku yang menguap di keheningan malam.
Mendung
merapat, angin merembas pori membiarkan tubuh ini terbalut peluh yang
kian dingin membeku. Langkahku semakin ringan menerobos kilau bening,
tenang dan damai.
Terkadang
timbul rasa rindu
kepada orang
orang yang kucintai dan
teman teman kampusku.
Itu
semua adalah kisah
masa lalu. Beberapa
bulan setelah kejadian itu, Suster Fransisca kembali kepada Sang
Pencipta pada usia 74 tahun. Alhamdulillah,
ibuku yang kini sudah berusia 65 tahun masih diberikan kesehatan yang
prima dan masih memberikan pelayanan di panti yang sama.
Bagiku,
Suster Fransisca adalah wanita yang sungguh berhati tulus dan mulia
yang hingga akhir hayatnya telah mempersembahkan seluruh hidupnya
untuk anak anak yang menderita dan membutuhkan uluran kasih.
Akupun
kini telah
menikah dengan seorang
wanita Palestina yang meraih gelar Dokter nya dari The
University of Massachusetts
Medical
School,
Massachusetts -
USA
dan
hari ini adalah
genap
sudah 10
tahun kami berdua bekerja untuk World Health Organization khusus
pelayanan di Timur Tengah dimana setiap hari dan setiap detik kami
dapat menyaksikan ratusan bayi dan anak anak tak berdosa telah
menjadi korban perang akibat keangkuhan dan keserakahan para
pemimpin dunia.
Aku
juga
telah berjanji akan mempersembahkan seluruh
hidupku untuk mereka seperti yang juga dilakukan oleh Ibuku dan
Suster Fransisca, demi kemuliaan Allah di Surga.
Sesungguhnya
kita semua
hanyalah milik
Allah dan kita
semua pun akan kembali hanya kepada-Nya.
Tamat.