“ampun bu......ampun bu......” jerit tangis Ari menahan perihnya cambuk rotan sang Ibu.
Ari
adalah anak sulung Halimah berusia 8 tahun dan duduk di bangku kelas
II SD, sedangkan Siti adalah si bungsu yang masih berusia 4 tahun.
Mereka bertiga tinggal di rumah gubuk kayu di sebuah kota kecil
berpenduduk miskin. Ketika suaminya masih bersamanya, Halimah bekerja
sebagai pemulung mengumpulkan botol botol bekas dan kertas untuk
dijual di pasar.
Banyak
sekali kesamaan fisik Ari dengan mantan suami Halimah, terutama raut
wajahnya. Hal inilah yang membuat kasih sayang Halimah terhadap Ari
tidak sebesar kasih sayangnya terhadap Siti.
Layaknya
seorang pedagang eceran keliling yang tidak memiliki penghasilan
tetap, begitupun dengan Halimah yang terkadang memperoleh banyak tamu
tetapi juga tidak jarang dia tidak mendapatkan satupun tamu. Gemerlap
kehidupan malam telah membuatnya kecanduan narkoba.
Pikiran
dan prilakunya semakin hari semakin tidak terkontrol terlebih setelah
si bungsu Siti meninggal dunia karena penyakit typhus. Terlihat jelas
saat Ari yang nakal membuat suatu kesalahan entah itu kecil apalagi
besar, maka Halimah langsung mengambil cambuk rotan untuk dihujamkan
ke hampir seluruh bagian tubuh Ari.
Berulang
kali rotan dicambukan ke tubuh Ari tanpa ampun hingga tiada lagi
terdengar suara jerit tangis Ari.
Para
tetangga berdatangan untuk segera mengamankan Halimah yang sudah
seperti kerasukan setan, lalu beberapa orang membawa Ari yang tidak
sadarkan diri ke Rumah Sakit. Pada hari itu Ari mendapat perawatan
serius di ruang gawat darurat yang masih belum siuman hingga
menjelang malam.
“Saya
ibunya Ari, Pak Dokter” sahut Halimah.
Dr.
Daud menghela napas panjang sebelum berkata “Kami sudah berusaha
sebisa kami, namun kondisi tulang kaki kanan anak ibu sepertinya
tidak dapat lagi diselamatkan dan harus diamputasi”. Seperti petir
di siang hari, Halimah menangis menyesali perbuatannya namun semua
sudah terlambat.
“Saya
tidak punya uang untuk biaya operasi, Dok”
kata Halimah.
“mengenai
biaya operasi ibu
tidak perlu khawatir dan kalau ibu tidak keberatan, setelah operasi
nanti Ari dapat tinggal di tempat saya dulu sampai Ari benar benar
merasa nyaman memakai kaki
palsunya”.
Atas
saran para tetangga yang mengantarnya ke rumah sakit, dan merasa
tidak mampu merawat Ari maka Halimah pun menganggukan kepala, “terima
kasih Dok, semua ini kesalahan saya”.
Seperti
yang sudah diduga sebelumnya oleh pasangan Dr. Daud dan Shinta, maka
permintaan Halimahpun tersebut tidak mereka tolak bahkan memberikan
lebih dari jumlah yang diminta oleh Halimah.
Dengan
menggunakan jasa pengacara maka Ari-pun resmi menjadi anak angkat
mereka. Tidak berapa lama kemudian Dr. Daud mendapat tugas baru dan
keluarga merekapun pindah ke ibu kota.
Kondisi
Halimah saat itu sudah kian parah. Dia tidak dapat lagi membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Minuman keras dan narkoba sudah
mendarah daging di tubuhnya.
“Kamu
baru jadi Dokter saja sudah mau mengajari ibumu ?” “Sekarang juga
kamu keluar dari rumah ini, kamu sudah bukan anakku lagi” bentak
Halimah kepada Ari dengan telunjuk mengarah ke pintu keluar.
Kebiasaan
Ari mengirimkan surat dan foto foto terbarunya juga masih belum
berubah.
Pada
bagian atas surat Ari selalu menuliskan kalimat “Salam sejahtera
dan sehat selalu untuk Ibu ku tercinta”. Sedangkan di bagian bawah
surat, tertulis “Ari akan selalu sayang dan tersenyum untukmu Ibu”.
“Siapa
yang mengetuk pintu yah, ri” tanya Dr. Daud dan Ari-pun bergegas
keluar untuk melihat tamu yang datang.
“Oh...Pak
Bejo dan Ibu Rusmini, mari silahkan masuk. Apa kabar ?” tanya Ari
kepada kedua tamunya.
“Pa
Ma, ini lho ada pak Bejo dan bu Rusmini dari kampung” kata Ari
kepada Dr. Daud dan Shinta.
Pasangan
suami istri Pak Bejo dan Ibu Rusmini sepertinya sangat terburu buru
dan tak sabar lagi untuk menyampaikan suatu berita penting kepada
keluarga Dr. Daud terutama kepada Ari.
“Ibu
sakit apa Pak” tanya Ari dengan reflek.
“Entahlah,
ri, nanti saja biar Ari yang tanya dokter di rumah sakit” jawab pak
Bejo agak gugup.
Malam
itu juga mereka berlima berangkat menuju stasiun kereta agar besok
pagi pagi sekali sudah dapat menjenguk Halimah di rumah sakit.
Wajahnya
pucat pasi dan tubuhnya sudah sangat lemah
namun tetap memaksakan telapak tangan kanannya menjamah wajah Ari.
Tetesan
tetesan bening
itu kian deras mengalir di kedua sudut mata
Ari yang juga meletakan kedua tangannya di wajah ibunda.
Sejenak
Halimah terdiam sambil memandangi raut wajah putra kandungnya yang
pernah dia sia siakan. Ujung ibu jarinya lembut menghapus tetesan
bening di pipi Ari, kemudian tersenyum dan berkata “Ari, kamu sudah
besar dan kamu anak baik, nak, Ibu bangga sekali kepadamu”.
Dr. Daud dan Ibu Shinta yang duduk di sebelah Ari tidak dapat menahan tangis pedihnya sambil merangkul tubuh Ari yang mendekap jasad kaku Halimah.
Tamat.