Friday, August 29, 2014

MENDUNGPUN BERLALU (Cerita Pendek – Kisah Nyata)


Paras cantik, berkulit kuning langsat, bertubuh langsing, dan lembut keibuan membuat Santi memiliki banyak teman. Ditambah dengan tutur kata Santi yang ramah dan sopan menempatkan dirinya di papan atas sebagai wanita idola para pria. Tidak heran kalau ada pria tanpa malu menyatakan cintanya walau disaksikan belasan pasang mata sahabat Santi.

Sudah menjadi impian Santi untuk memiliki suami yang usianya beberapa tahun di atas usianya, sabar dan baik, sangat mencintai istri, bertanggung jawab terhadap keluarga, dan mapan dalam hal keuangan.

Dari sekian banyak pria akhirnya Santi menjatuhkan pilihannya kepada Anton, seorang pemuda ramah sopan, rendah hati, pengusaha mapan, dan masih berdarah keluarga ningrat. Bagi Santi, bergaul dan beradaptasi dengan keluarga Anton terkadang agak canggung karena Santi tidak dilahirkan dan tidak dibesarkan dalam lingkungan keluarga konglomerat maupun ningrat.

Jalan sambil bergandeng tangan di shopping mall merupakan salah satu kegiatan favorite para anak muda yang sedang berpacaran tak terkecuali Santi dan Anton.

Anton sedang di Plaza Senayan bersama Santi nih bu......oh iya........iya........iya bu” demikianlah pembicaraan Anton dengan seseorang melalui HP nya.
Ibu rajin menelephone Mas Anton yah” suara lembut Santi
Iya sebab Ibu sangat mencintai anak anaknya sehingga selalu merasa khawatir”

Anton adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Orang tua Anton terutama ibunya adalah termasuk orang tua yang sangat melindungi anak anaknya bahkan seringkali terkesan memperlakukan anak anaknya yang sudah dewasa seperti anak kecil yang masih mengenakan diapers. Sudah menjadi suatu kebiasaan Ibunda Anton memonitor anak anaknya bila pergi bersama teman temannya. Anak anaknyapun termasuk Anton harus memberi tau sedang ada dimana, pergi dengan siapa, bahkan nonton film apa dan di bioskop mana.

Dua tahun berpacaran akhirnya mereka memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Mulai dari gedung pernikahan, dekorasi hingga kartu undangan semuanya diputuskan oleh Ibunda Anton. Pihak keluarga Santi sepertinya sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk menentukan selera.

Di suatu kesempatan makan malam, Ibunda Anton memulai pembicaraan mengenai persiapan pernikahan mereka.

Santi, Ibu sudah pesan dekorasi dan souvenir undangan bagus bagus sekali” kata Ibunda Anton
oh iya, terima kasih bu selama ini Ibu telah repot” ujar Santi
tidak apa apa ini semua Ibu lakukan untuk Anton dan kamu”
tapi nanti tolong bilang ke Ibu dan Bapakmu untuk pilih pilih para calon undangan” “maksud Ibu, tidak semua teman orang tuamu perlu diundang toh”
Ibu harap kamu dan keluargamu dapat mengerti maksud Ibu sebab nanti akan banyak pejabat dan para pengusaha yang hadir di pesta. Kartu undangan yang Ibu pesan juga tidak murah” sambung Ibunda Anton.

Saat mendengar permohonan Ibunda Anton, seketika itu juga Santi seperti mau menangis sedangkan Anton yang duduk di sebelah Santi tetap asyik menyantap makan malam seakan tidak menghiraukan apa yang sedang dibicarakan Ibunya kepada Santi.

Hiruk pikuk ratusan pertanyaan tanpa jawaban terus menghantui pikiran Santi. Hanya dalam satu minggu berat badan Santi turun beberapa kilo.

Pada awalnya kedua orang tua Santi pikir anaknya memang sengaja menurunkan berat badan karena hanya tinggal beberapa bulan lagi akan menikah. Setelah Santi menceritakan masalah yang sedang dihadapinya, kedua orang tua Santi sedih dan hanya bisa mengelus dada, lalu menyarankan Santi untuk tabah dengan keputusan apapun yang akan diambilnya.

Sekitar tiga minggu sebelum hari H resepsi pernikahan, Santi memberanikan diri bicara kepada Anton calon suaminya.

Mas Anton, selama ini aku sudah mencoba bertahan tapi sepertinya aku hanya mendustai perasaanku” kata Santi dengan wajah tertunduk sedih
ada apa, San”
aku sebenarnya tidak suka dengan ibumu yang terus menerus turut campur urusan kita dan sering menganggap rendah keluargaku”
lho….itukan hal yang wajar kalau ibuku banyak ikut campur karena aku adalah anaknya” sanggah Anton
jangan jadi perasa begitulah, San, anggap saja angin lalu, lagi pula hal ini kan juga pernah kita diskusikan beberapa bulan lalu
Mas, aku sudah pikir berulangkali dan aku putuskan ingin pisah denganmu daripada kita berpisah setelah menikah nanti” jawab Santi dengan suara terbata menahan isak tangisnya
kamu nih gimana sih ? terus bagaimana dengan undangan yang sudah kita sebarkan, San ?” jangan begitu dong, San, kamu jangan bikin malu keluarga besar saya dong
maaf Mas Anton, biarlah kuakui semua ini adalah kesalahanku, tapi tekadku sudah bulat untuk berpisah”

Dengan rasa penuh kecewa Anton mengantar Santi pulang ke rumah dan mereka tidak bicara sepatah katapun selama perjalanan. Anton benar benar bingung bagaimana dia harus menyampaikan berita ini kepada orang tua dan saudara saudaranya terutama kepada Ibunda. Perdebatan itu terus berlangsung beberapa hari lamanya hanya melalui telephone tanpa bertemu muka.

Tepat sekali perkiraan Anton, begitu Ibunda mendengar cerita Anton bahwa Santi memutuskan hubungan dengannya dan membatalkan pernikahan mereka, Ibunda Anton langsung mencak mencak lalu menelephone dan melabrak orang tua Santi yang disebutnya sebagai orang tua yang tidak dapat mendidik anak wanitanya dengan benar.

Tujuh bulan kemudian, Anton menikah dengan seorang wanita pilihan Ibunda, namun usia perkawinan mereka hanya bertahan tidak lebih dari 2 tahun.

Sejak berpisah dengan Anton tiga tahun lalu, Santi semakin sering berdoa untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Dia merasakan betapa hidupnya sunyi dan terkadang merasa menyesal berpisah dengan Anton tetapi di sisi lain Santi merasa bahagia karena mampu mengambil suatu keputusan kritis demi masa depan perkawinannya dengan seorang “Anak Mami”.

Atas persetujuan kedua orang tuanya Santi yang saat itu sudah berusia 26 tahun dan belum memperoleh kekasih lagi, memutuskan untuk melanjutkan sekolah S2 di Monash University, Melbourne - Australia.

Di dalam pesawat Qantas, Santi berkenalan dengan seorang anak muda yang duduk di sebelahnya. Anak muda tersebut berkulit kuning langsat dan bergaya bicara sangat sopan.

hai........mbak mau ke kota mana ? oh maaf, namaku Daniel”
Oh iya aku Santi, mau ke Melbourne”
lhooo….kita satu jurusan dong, nanti transit di Sydney kan ?” kata Daniel sambil tersenyum
kamu ke sana untuk bisnis ?” tanya Santi
bukan, aku kuliah S2 Business di Swinburn University dan masih semester ke 2”
kalau aku malah baru mau ambil S2 Accounting di Monash tapi musti kursus bahasa Inggris dulu supaya bisa lulus IELTSjawab Santi.

Mereka berdua cepat sekali akrab dan ngobrol seolah mereka sudah saling kenal bertahun tahun. Perjalanan pesawat 6 jam dari Jakarta ke Sydney untuk transit selama 1 jam kemudian dilanjutkan 1 jam lagi dari Sydney ke Melbourne tidak membuat mereka merasa bosan. Malahan mereka merasa masih kurang lama untuk ngobrol saling mengenal lebih jauh.

Setibanya di Melbourne, angin dingin di bulan Agustus menusuk tulang ketika Santi menginjakan kaki pertama kalinya. Dengan senang hati Daniel mengantarkan Santi ke Apartment dimana Santi akan tinggal di lingkungan sekitar Monash University.

Sejak saat itu mereka kian sering berkomunikasi dan bertemu di akhir pekan, bahkan merekapun bercerita tentang masa lalu mereka masing masing. Perasaan saling menyukai diantara merekapun berbunga namun keduanya malu untuk menyatakan perasaan sesungguhnya.

Daniel adalah anak keturunan Tionghoa yang beragama Kristen Protestant. Sewaktu masih di bangku SMA, Daniel pernah memiliki kekasih seorang gadis Muslim tetapi perjalanan cinta mereka tidak berlangsung lama karena orang tua si gadis tidak merestuinya. Trauma yang dialami Daniel terus terbawa sehingga sejak saat itu dia belum pernah lagi memiliki pacar dan teman temannya sering mengejeknya sebagai banci.

Demikian dengan Santi yang juga tidak yakin hubungannya dengan Daniel akan mendapat restu dari kedua orang tuanya karena Santi adalah dari keluarga Muslim.

Dan, kalau malam minggu begini kamu sering ajak aku keluar, apa pacarmu tidak marah ?” goda Santi kepada Daniel
oh.....tidak San, aku tidak punya pacar tapi setidaknya ada kamu, teman untuk ngobrol, jadi aku tidak merasa kesepian

Di waktu senggang mereka berdua sering belajar bersama di perpustakaan, kemudian mereka juga menikmati keindahan kota Melbourne dari tepi Yarra River dan St. Kilda Beach.

Beruntung sekali bersamaan dengan selesainya kuliah S2, Daniel memperoleh Australian Permanent Resident untuk dapat tinggal dan bekerja secara legal di Australia. Sedangkan Santi masih membutuhkan 1 tahun lagi untuk menyelesaikan kuliah S2-nya.

Hubungan mereka berdua setelah Daniel memperoleh pekerjaan di Melbourne bukanlah merenggang tetapi malah sebaliknya, mereka semakin akrab dan saling mencintai.

San, apakah kamu mau jadi pacarku ?” tanya Daniel dengan malu malu
aku tidak akan mengusik keimananmu dan biarlah kita tetap memilikinya demi hubungan cinta kasih kita” tambah Daniel

Degup jantung Santi berlari ketika dia mencoba untuk memohon restu kedua orangtuanya. Ternyata, apa yang pepatah bilang “bila sudah jodoh takkan lari kemana” bukanlah sebuah dongeng cerita.
Kedua orang tua Santi tidak menentang tetapi malah merestuinya bila itu adalah sudah pilihan Santi dan untuk kebahagiaan masa depan Santi.
Bulan Juni tahun 1995, Santi dan Daniel resmi menjadi suami istri di catatan sipil kota Melbourne.

Tidak terasa, sembilan belas tahun terlampaui sudah Santi dan Daniel mengarungi bahtera rumah tangganya. Mereka yang dikaruniai dua orang putra yang kini telah berusia 14 tahun dan 16 tahun, memilih untuk tinggal di pinggiran kota Melbourne di sebuah rumah mewah dengan kolam renangnya.

Hubungan kedua orang tua Santi dan Daniel pun sangatlah akrab, bahkan beberapa kali mereka datang bersama ke Melbourne mengunjungi anak cucu mereka sambil pesta BBQ.

Hingga saat ini Santi masih setia sebagai seorang Muslimah sedangkan Daniel tetap memilih menjadi seorang Kristen Protestant. Mereka mendidik anak anak mereka tentang kebaikan, kerendahan hati dan cinta kasih dimana agama tidak lebih hanyalah sebuah alat pengantarnya.

Santi benar benar merasa doanya telah didengar dan dikabulkan oleh Allah untuk memperoleh suami yang sungguh baik dan sangat mencintainya, juga memiliki keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Enam tahun ke depan mereka akan merayakan Pesta Perak Pernikahan yang rencananya saat itu mereka akan berada di pesawat Qantas dari Jakarta menuju Melbourne sebagai kenangan hari pertama mereka berjumpa.

Tamat.

Sunday, August 24, 2014

TAK TERLUPAKAN

hempas gelombang mengikis karang
pasir mengonggok
buih terpendam resah
tiada malu camar berkata mesra
di sudut cakrawala tersimpan dusta


senyum renyah hati menyinyir
kerut mata menatap hening
tajam menggores masa
guratan senja teranyam duri
rupa bercermin tertagih janji

 
Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

Wednesday, August 20, 2014

TAK KEMBALI

terkebat debu
serbuk serbuk sari mengudara
menari tanpa menyerah
layaknya sepasang mempelai bercinta
matahari rembulan berpeluk mesra

bila itu benar benar bumi
keriput tanah bernaskah
dunia lama tlah tiada
pergi bersama air mata


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

Thursday, August 14, 2014

MUTIARA DI TENGAH PRAHARA (Cerita Pendek)


lim, nanti tolong bagi bagikan potongan keju dan roti ini untuk rakyat” ujar Tuan Pieter Van Dalen.
baik, Meneer” jawab Salim pekerjanya.

Tuan Pieter Van Dalen adalah seorang pengusaha berkebangsaan Belanda yang tinggal di Desa Hilir Mudik. Beliau adalah ahli waris tunggal dari keluarga Van Dalen yang dikenal oleh masyarakat desa sebagai keluarga kaya dan terhormat. Disamping keluarga Van Dalen memperkerjakan hampir seluruh orang di desanya di perkebunan teh milik keluarga, keluarga Van Dalen juga banyak membantu orang miskin dalam hal biaya pengobatan dan makanan.

Salim dan keluarganya bahkan sejak kakek neneknya adalah orang desa yang telah bekerja untuk keluarga Van Dalen secara turun temurun. Salim terlahir dari keluarga desa yang soleh yang tidak pernah lupa untuk bersholat 5 kali sehari. Kakek Salim pernah berpesan kepada orang tua Salim untuk selalu menyertakan keluarga Van Dalen dalam setiap doa mereka agar Allah selalu menyertai keluarga Van Dalen. Pesan inipun juga disampaikan oleh orang tua Salim kepada Salim yang saat itu masih berusia 14 tahun. Ketika di usia 6 tahun, Salim bersama anak anak desa sebayanya mengikuti khitanan massal yang seluruh biaya dan pestanya ditanggung oleh keluarga Van Dalen. Saat itu Salim juga menerima hadiah uang dan seuntai tasbih dari keluarga Van Dalen.

Ada satu hal yang menarik yang sudah lebih dari seratus tahun dilakukan oleh keluarga Van Dalen ini, yaitu setiap pagi mereka menyiapkan ratusan potong keju dan roti untuk para karyawannya dan untuk rakyat desanya sampai semuanya kebagian jatah keju dan roti.

Begitupun setiap hari Minggu saat semua karyawan kebun tidak bekerja, setiap selesai kebaktian gereja keluarga Van Dalen menyambangi orang orang desa yang sedang sakit dan mereka yang sudah jompo untuk diberikan penghiburan. Kehidupan masyarakat Desa Hilir Mudik sangat tentram dan seakan tiada yang mengeluh mengenai sandang pangan. Bila mereka mengalami kesulitan, mereka boleh datang kepada keluarga Van Dalen dan merekapun akan menerima pertolongan apapun secara cuma cuma.

Pada masa itu desas desus mengenai kemerdekaan Indonesia sudah tersiar hingga ke pelosok desa. Semua rakyat bersiap siap menyambutnya untuk merasakan hidup bebas merdeka di negeri kelahiran nenek moyang bumi pertiwi tercinta.

apakah Meneer akan tetap tinggal di desa ini bila suatu saat negeri kami merdeka ?” tanya Salim kepada tuannya
saya lahir dan dibesarkan di desa ini, jadi sayapun akan mati di sini” jawab Tuan Pieter perlahan sambil menikmati secangkir teh hangat.

Sejak beberapa tahun lalu Tuan Pieter hidup menduda karena istrinya telah meninggal akibat kanker. Mereka juga tidak dikarunia anak.

Di suatu malam ketika Tuan Pieter baru akan memejamkan matanya, terdengar seseorang mengetuk pintu, waktu itu sekitar pukul 10:30 malam.

Meneer, ada dua orang pemuda mencari Meneer” kata Ipah, pembantu rumah tangga
apakah mereka dari desa ini ?”
tidak tau, Meneer, di luar gelap jadi saya tidak dapat melihat”
tolong bangunkan centeng untuk bersiaga” kata Tuan Pieter sambil membawa lampu patromak keluar menemui tamu asingnya itu.

Meneer, kami dari desa sebelah mohon pertolongan Meneer”
apa yang bisa saya bantu ?”
beberapa polisi memburu kami karena kami pejuang”
tolong kami Meneer, tolonglah kami Meneer”

Suatu keputusan yang sangat sulit bagi Tuan Pieter. Bila beliau menolong pemberontak maka beliau akan ditangkap tentara Belanda, tapi bila beliau tidak menolong maka kedua orang tersebut akan ditangkap dan kemungkinan akan dihukum mati.

Tuan Pieter kemudian menyuruh beberapa centengnya untuk menyembunyikan kedua orang tersebut di gudang bawah tanah, lalu menyuruh Ipah mematikan semua lampu. Hanya selang beberapa menit kemudian, sepasukan tentara Belanda melewati depan rumah Tuan Pieter, namun karena mereka melihat lampu telah dimatikan mereka pikir penghuni rumah telah tertidur dan urung untuk mengetuk pintu.

Dua minggu kemudian, sekelompok pejuang Republik bersama seorang tokoh pejuang bangsa datang menemui Tuan Pieter untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang diberikan kepada kedua pejuangnya. Namun, entah siapa yang menyebarkannya, gosip mengenai Tuan Pieter Van Dalen membantu pejuang Republik tersiar di seluruh desa hingga ke telinga Kapten Van Lundberg seorang Kapten tentara Belanda yang terkenal dengan kebengisannya dan tidak segan segan membunuh petani hanya untuk sebuah informasi. Kapten Van Lundberg juga sudah mendengar informasi mengenai keluarga Van Dalen yang banyak sekali membantu masyarakat desa.

Kala itu sekitar jam 8 pagi, Kapten Van Lundberg bersama pasukannya singgah di perkebunan teh keluarga Van Dalen yang lokasinya persis di depan rumah. Mereka ingin menanyakan perihal kedua orang pejuang yang mereka cari cari.

bila ada pejuang di desa ini, saya akan memberitahukan Kapten”
saya tau Tuan Van Dalen dekat dengan banyak pejabat di Batavia, tapi saya berharap Tuan mengerti posisi kami” sahut Kapten dengan nada mengancam
sudah banyak cerita sumbang yang saya dengar mengenai keluarga Tuan”
jangan coba coba Tuan menyembunyikan para pemberontak lalu berbohong kepada saya”
Kapten, saya bilang sekali lagi bahwa saya tidak tau dan tidak mengenal adanya pejuang di desa ini” sanggah Tuan Pieter

Kapten Van Lundberg kalap karena sudah berbulan bulan mencari buruannya namun belum juga tertangkap, lalu menyuruh beberapa anak buahnya menangkapi beberapa orang desa yang juga para pekerja kebun teh.

anda tidak bisa berbuat kasar kepada pekerja pekerja saya. Mereka hanyalah orang desa dan mereka semua orang baik baik” bentak Tuan Pieter.

Namun Kapten Van Lundberg tidak peduli dengan ocehan Tuan Pieter dan terus menangkapi sambil memukuli orang orang desa itu.

Dengan berang Tuan Pieter masuk ke rumah mengambil pistol dan menyuruh para centengnya membela rakyat desa. Baku tembakpun tak terhindarkan di perkebunan teh. Sebuah timah panas melesat tepat mengenai dada sebelah kiri Tuan Pieter dan seketika itu juga tubuhnya yang berlumur darah ambruk ke tanah dengan napas tersengal.

Kapten Van Lundberg berserta anak buahnya dengan segera meninggalkan lokasi karena takut bertanggung jawab untuk berurusan dengan pejabat di Batavia yang telah mengenal dekat keluarga Van Dalen sejak turun menurun.

Kondisi Tuan Pieter sangatlah kritis. Salim berserta orang orang desa mengerubungi tubuhnya yang terkapar di tanah.
bila saya meninggal, saya minta dikubur di sebelah makam istri saya di belakang rumah”
jangan meninggal Meneer, kami semua mencintai Meneer” pinta orang orang desa dengan isak tangis.

Sayangnya, timah panas telah terlanjur mengoyak ngoyak jantung Tuan Pieter.
saya sangat mencintai kalian semua dan saya akan merindukan kalian semua” jawab Tuan Pieter perlahan sambil menghembuskan napas terakhirnya.

Dengan meninggalnya Tuan Pieter Van Dalen berarti telah berakhir juga keturunan keluarga Van Dalen di Desa Hilir Mudik. Hal ini membuat masyarakat desa merasa sangat sedih dan kehilangan sekali. Walaupun keluarga Van Dalen bukanlah bangsa Indonesia namun orang orang desa setempat telah menganggap keluarga tersebut sebagai tokoh desa dan keluarga pengayom desa paling tidak selama tiga generasi.

Enam puluh sembilan tahun Proklamasi Kemerdekaan telah berlalu, Desa Hilir Mudik tidak banyak berubah. Para penduduknya juga masih tinggal di rumah rumah berbilik bamboo.
Perkebunan teh milik keluarga Van Dalen telah berpindah tangan dan kini dimiliki oleh seorang Pejabat Negara koruptor yang tidak peduli dengan kondisi rakyat desa.
Pemilik kebun selalu menuntut para pekerjanya untuk bekerja keras agar kebun menghasilkan banyak panen. Si pemilik kebun juga tidak peduli dengan pekerja kebun yang sakit, bahkan tidak segan segan untuk memecatnya dengan tuduhan karyawan tersebut pemalas.

Banyak masyarakat desa yang tidak lagi bekerja di kebun teh tersebut, tetapi memilih bekerja di kota besar atau menjadi tenaga kerja di luar negeri untuk memperbaiki status ekonomi mereka sesuai dengan tuntutan zaman.

Pribadi Salim yang sudah berusia 83 tahun masih pribadi yang sama seperti dulu yaitu seorang pria sederhana yang soleh.

Di luar hujan deras sekali dan kucurannya menembus beberapa celah lubang atap rumah pondokan Salim. Seperti biasanya setiap jam 11 malam Salim terbangun untuk sembahyang tahajut. Udara dingin merasuk tulang belulang Salim yang sudah tua renta. Istrinya sudah sejak sore tertidur lelap sedangkan anak anaknya tidak lagi tinggal bersamanya.

Di akhir doanya, Salim berkata “Ya Alloh Ya Rabbi, sekiranya malam ini adalah waktunya hamba kembali kepada-Mu, biarlah hamba serahkan jiwa hamba hanya di tangan-Mu. Hamba juga kembali memohon rahmat-Mu Ya Alloh untuk keluarga Van Dalen yang telah berpulang kepada-Mu. Amin Ya Rabbal Alamin”.

Tubuh renta Salim bersujud telungkup sambil memeluk Quran dan menggenggam rangkain butiran tasbih pemberian keluarga Van Dalen. Hembusan napasnya pun semakin jauh dan akhirnya menghilang di tengah derasnya hujan mengguyur bumi.

Tamat.

Thursday, August 7, 2014

JANJI DAN KESETIAAN (Cerita Pendek)


Sebagai anak muda yang hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 6 SD, Karso merasa pesimis akan masa depannya apalagi kedua orang tuanya juga dapat dikatakan tidak pernah memupuk keimanan apapun kepadanya. Dibilang Muslim tapi tidak mengerti mengaji bahkan ke Masjid juga tidak setahun sekali, apalagi masuk ke gereja tidak pernah terlintas dipikirannya.

Setiap hari dia bergaul dengan anak anak kampung sebayanya. Di pinggir comberan ngobrol ngalor ngidul mengenai nasib dan pergolakan Partai Politik di dalam negeri.

Kar, ape elu kagak mau jadi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) ? kemaren si Bang Rohmat dapet duit segepok padahal cuma baru daftar jadi anggota doangan” tanya Soleh.
Kagak ah, gue kagak demen politik” sahut Karso menggaruk garuk tangan sambil menikmati gambar tattoo barunya.
eh… Soleh muke gile, elu jangan tanya Karso masuk Partai, udeh pasti die kagak mau. Elu sediain dong Johnny Walker biar 10 botol juga dijabanin luh….hahahhaha” sambung Somad anak Pak Dudung tukang gali sumur sambil ngakak.

Demikianlah kegiatan anak anak muda pengangguran di kampung Karso. Mereka hanya tau bagaimana hari ini dan tidak peduli dengan besok apalagi masa depan. Di dekat rumah Karso ada lapangan tenis dimana orang orang borjuis mulai dari atlet, pejabat pemerintah bahkan bintang film sekelas Lince Tambayong sering datang untuk meregangkan otot. Setempo waktu Karso datang ke sana sebagai anak bola istilah untuk tukang pemungut bola tenis kalau bolanya ke luar lapangan atau terhenti di tengah lapangan. Setelah pertandingan, para pemain tenis memberi upah beberapa rupiah kepada ‘anak bola’.

Sambil memutar mutar puntung rokok Karso cerita ke Somad “gue paling suka kalau Pak Broto dan temen temennye main tenis sebab ngasih upahnye banyak banget, kagak kayak si Pak Jumin kalu ngasih upah paling banter 3 ringgit buat beli getuk berape biji doangan”.

Pak Broto yang rumahnye di Jalan Lembang, Kar ?”
iye betul elu tau kan die. Kalu orang bisa banyak begitu duitnye dari mana yah ?” sambung Karso
oh…kalu die sih emang pengusaha, kan anak anaknye pada sekolah di luar negeri. Emangnye emak bapak kita, boro boro sekolah ke luar negeri, mau ke luar kota aje juga mikir kagak gablek duit” jawab sengit Somad.
gue kepengen juga jadi orang kaya, mad, tapi gimana caranye ?”
kagak usah banyak menghayal deh luh Kar, ntar jadi gila luh kayak si Rodi anaknye Mpok Rohima, mendingan mikir acara kita entar malem kemane nih ?”
mad, entar malem bukannye kita disuruh dateng ke rumahnye Pak Dullah, anaknye ulang taon”
iye betul, gue juga mau dateng nih kali aja dapet jodoh…he..he…” canda Somad sambil merapihkan rambutnya yang tertiup angin.

Sore itu di rumah Pak Dullah sudah banyak tamu terutama para anak mudanya. Mereka seakan mempertunjukan keahlian dansa Cha Cha dan Boogie. Tanpa terkecuali para Opa dan Oma pun turut berdansa.

mad, gue liatin dari tadi itu perempuan yang pake baju merah muda, cakep juga”
jangan mimpi deh luh, Kar, mendingan makan aje nih lontong cap gomehnya enak banget. Lagian juga itu anak orang gedongan bukan dari kampung kita”

Bukan lelaki jantan kalau takut kenalan sama perempuan, pikir Karso. Dengan langkah pasti Karso mendekati “angsa putih” bergaun merah muda yang baru saja berdansa Cha Cha dan sedang meneguk air putih.

hey…” sapa Karso
hey…” sahutnya sambil tersenyum membuat Karso menelan ludah dan jantung hampir copot.
dansa luh bagus juga, gue demen ngeliatnye. Nama gue Karso, nama luh siape ?” lontaran kata kata spontan Karso yang menunjukan kelasnya di zaman itu.
terima kasih, nama Ik (saya) Sonya. Je (kamu) tidak ikut dansa dengan teman teman ?

Semakin gugup saja Karso mendapat jawaban Sonya. “bener juga si Somad, nih perempuan bukan kelas gue” pikir Karso

oh…tidak. Ik (saya) tidak bisa dansa” jawab Karso dengan logat yang kaku karena tidak terbiasa dengan Holland spreken.

Sonya dapat mengerti dan menerima kalau dia bicara dengan siapa sehingga pembicaraanpun terus berlanjut hingga pesta selesai. Mereka tampak seakan sudah saling mengenal tahunan dan membuat Somad iri pada Karso.

emangnye elu udah kenal sama tuh perempuan, Kar ? gue liatin tadi elu ngobrol akrab banget kayaknye”
baru kenal tadi, makanye usaha dong luh hahahaaaaa…..berenti di sini aje bang” jawab Karso sambil tertawa dan menyuruh tukang becak berhenti di depan gang rumahnya.

Karso mulai sering menulis surat ke Sonya sampai suatu saat dia memberanikan diri datang ke rumah Sonya untuk berkenalan dengan keluarganya.

Sonya adalah anak seorang Pendeta Pentakosta yang sejak muda biasa melayani orang orang Kristen di sekitar rumahnya yang kebanyakan umatnya adalah orang orang keturunan Tionghoa dan Belanda. Sonya sendiri active paduan suara.

Perasaan cinta kasih mereka semakin lama semakin tumbuh dan berkembang, namun Karso masih belum memiliki pekerjaan tetap dan masih memiliki kebiasaan nongkrong bersama teman teman sepengangguran di kampungnya.

Di suatu malam Natal, Karso diundang datang ke rumah Sonya untuk merayakan Natal bersama keluarganya.

kenapa papi dan mami Je (kamu) tidak diajak datang ?” tanya ibunda Sonya kepada Karso yang saat itu siap siap menyantap hidangan Natal sebelum mengadakan kebaktian Natal.
oh….tidak tante mereka ada undangan” jawab Karso perlahan yang tidak berani bilang bahwa dia bukan dari keluarga Kristiani.

Ibunda Sonya sebenarnya sudah mengetahui dari Sonya bahwa siapa Karso sebenarnya, namun beliau tidak mau mempersoalkannya agar tidak menyinggung perasaan Karso, disamping itu juga karena hal itu adalah urusan pribadi masing masing dengan Sang Pencipta.

Setahun sudah mereka berpacaran dan Sonya pun menanyakan keseriusan Karso atas hubungan mereka.

Kar, apakah kamu sudah berani melamar saya ?
wah….gimana yah kira kira orang tua kamu ngasih apa tidak ?
kalau kamu masih menganggur sepertinya mereka tidak akan setuju, Kar”

Sejak saat itu Karso mulai jarang berkumpul dengan teman teman kampungnya dan mencoba mencari pekerjaan apapun yang halal untuk mengumpulkan uang. Mulai dari mengumpulkan barang barang rongsokan untuk dipreteli bagian yang masih bisa dipakai untuk kemudian dijualnya bahkan pernah menjadi tukang becak walau cuma beberapa hari.

Hingga suatu saat dia mulai berpikir untuk memiliki usaha sendiri. Berkat bantuan dari seseorang yang telah mengenalnya ketika bermain tenis, Karso mulai belajar mendatangkan barang dari negara Jerman Barat lalu dijualnya di Indonesia.

Beberapa bulan kemudian Karso bersama kedua orang tuanya memberanikan diri melamar Sonya. Perdebatan setuju dan tidak setuju bukan hanya ada di pihak keluarga Sonya tetapi juga pada keluarga Karso. Namun kedua pihak baik orang tua Sonya maupun orang tua Karso mengalah dan menyerahkan sepenuhnya kepada anak anak mereka.

Sonya dan Karso menikah secara Kristen di Gereja Pentakosta, namun Karso belum siap untuk dibaptis untuk menjadi seorang Pentakosta, tetapi memilih untuk mengikuti Aliran Kepercayaan (Kebathinan).

Perjalanan rumah tangga mereka penuh suka cita apalagi setelah anak pertama lahir. Perbedaan keimanan tidaklah menjadi penghalang dalam mengurus rumah tangga dan mereka sangat bahagia tinggal di rumah kontrakan berbilik bambu. Bertahun tahun Karso dan Sonya mengumpulkan uang hingga akhirnya setelah anak ke 5 lahir mereka mampu membeli rumah sendiri walau kecil.

Dengan usahanya yang terus berkembang Karso merasa dirinya telah berhasil. Tidak adanya suatu pegangan keimanan pada Karso, jiwanya mengambang dan kesombonganpun menutupi mata hatinya.

Karso kembali ke kehidupannya seperti sebelum menikah. Kembali berkumpul dengan teman teman lamanya yang masih belum berubah tetap menjadi preman, ada diantaranya kecanduan madat dan morfin. Hampir setiap hari Karso pulang ke rumah hingga larut malam tanpa peduli lagi dengan Sonya dan kelima anak anaknya. Hingga saatnya Sonya tidak dapat lagi menahan emosinya dan memukul mukul tubuh Karso saat melihat suaminya itu pulang jam 1 malam dengan kondisi mabuk. Mereka bertengkar sangat hebat hingga anak anak semua terbangun.

kamu berjanji akan merubah hidup kamu saat kamu melamar saya, lihatlah kamu sekarang kembali ke masa lalu” maki Sonya

Karso yang sudah kehilangan akal karena pengaruh minuman keras manampar Sonya yang langsung tersungkur ke lantai kemudian Karso pergi ke luar rumah dan baru kembali keesokan siang harinya. Itu adalah kekerasan pertama dan terakhir yang dilakukan oleh Karso terhadap Sonya.

Kejadian malam itu membuat hubungan Sonya dan Karso tidak seharmonis dulu. Karso lebih sering keluar rumah berkumpul dengan teman teman lamanya, sedangkan Sonya sabar mengurus kelima anak anaknya dan setiap pagi siang malam tekun berdoa dan memohon kepada Tuhan untuk menyadarkan Karso agar kembali kepada keluarganya.

Usaha Karso semakin meroket sukses namun penuh kehampaan dalam keluarganya. Bertahun tahun hubungan yang tidak harmonis ini dijalani Sonya. Suatu saat ketika Karso berusia 37 tahun, Karso terkena stroke akibat terlalu banyak mengkonsumsi alkohol dan harus dirawat di rumah sakit, Karso pun pasrah bila Tuhan memanggilnya. Saat itu Karso masih belum memiliki suatu Keimanan yang pasti, dia hanya selalu menyatakan bahwa dia adalah penganut Aliran Kepercayaan (Kebathinan). Di saat saat sekaratnya itu, seorang Pastor tua mengunjungi Karso memberikan Sakramen Perminyakan.

Pastor, bila saya sembuh saya akan menjadi baik” suara Karso lemah sekali sepertinya telah siap kembali kepada Sang Pencipta.
Bapak Karso, janganlah berjanji bila bapak tidak dapat memenuhi janji bapak. Percayalah, bila Tuhan bersabda maka bapak akan sembuh” sahut si Pastor.

Semakin hari semakin berangsur baik kesehatan Pak Karso. Mobil dan hampir semua harta bendanya dijual untuk berobat jalan dan usahanya pun terbengkalai, sehingga Sonya harus menjalani usaha catering untuk beberapa tahun lamanya. Uang penghasilan catering cukup untuk keperluan keluarga sehari hari dan biaya sekolah anak anaknya. Selama berobat jalan, Karso berusaha keras agar usaha importirnya bangkit kembali.

Sepuluh tahun sejak Karso menerima Sakramen Perminyakan, Karso dan Sonya sepakat untuk menerima Sakramen Permandian untuk menjadi Katholik.
Karso meninggalkan Aliran Kepercayaan (Kebathinan) nya dan Sonya meninggalkan Pentakosta-nya yang telah dimilikinya sejak lahir.

Apa yang tertulis di dalam Kitab Suci bahwa “Tiada Yang Mustahil Bagi Allah” telah tergenapi dan terbukti dalam kehidupan keluarga Karso dan Sonya.

Mereka bukan hanya mendapati kembali keharmonisan rumah tangganya tetapi mereka juga berhasil mendidik kelima anaknya untuk memiliki keimanan yang kokoh untuk selalu berada di jalan Tuhan. Disamping itu, kelima anaknya pun berhasil meraih gelas Sarjana dan Pasca Sarjana dari Universitas di luar negeri. Dua diantaranya kini menjadi pengusaha yang sukses.

Beberapa minggu lagi Karso akan genap berusia 76 tahun dan Sonya yang kini berusia 74 tahun masih tetap setia mendampinginya.


Tamat.

Friday, August 1, 2014

SENANDUNG MALAM

kala kulihat bayangmu
terbaring liar pesolek rembulan
bertitah liuk
merayap kabut
menjemput gairah di tengah malam

gejolak napas rumpun ilalang
celoteh ranting riak berbisik
aku mencintaimu
elok mendawai remang
merapat desah hingga subuh menjulang


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw