Selamat
menikmati malam Jumat Kliwon terakhir di tahun 2014 sambil membaca Cer Pen ku ini.
Banyak
sekali kisah mistik yang telah beredar di seputar wilayah Gunung
Kidul, entah benar atau tidak, namun yang pasti hal itupun juga
dialami oleh tiga orang sahabat Kardi, Ferdi dan Mulya. Ketiga orang
ini memiliki hobby yang sama sejak mereka masih di bangku SMA. Setiap
ada libur panjang mereka tidak pernah menyia nyiakan waktunya untuk
mendaki gunung dan berkemah sekalipun di tengah hutan. Mulai dari
tenda, tambang hingga jarum jahit pun mereka siapkan.
Sebagaimana
halnya masyarakat di Jawa Tengah, cerita cerita setan seperti
kuntilanak, pocong, atau genderuwo disebarkan dari mulut ke mulut.
Rasa takut akan roh halus bukan hanya dialami oleh anak anak tapi
juga oleh orang dewasa. Namun semua cerita seram itu tidak
berpengaruh bagi ketiga sahabat ini.
“Aku
kepingin sekali ketemu kuntilanak biar bisa minta kode nomor buat
pasang undian harapan” celoteh Kardi dengan rokok Dji Sam Soe di
celah kedua jarinya.
“Kamu
jangan suka takabur toh, Kar. Nanti kalau ketemu beneran kamu lari”
sahut Ferdi.
“Lhooo.....beneran
Fer, aku kepingin sekali tanya nomor kode kepada kuntilanak, mumpung
teman kita si Mulya ini ahli mengusir setan hahahaaaa.....” celetuk
Kardi sambil mencolek punggung Mulya yang sejak tadi serius masih
sibuk mengeluarkan bekal makanan dari dalam ranselnya.
“Wah.....
kalau si Mulya sih tidak diragukan lagi, Kar, Raja Setan juga sujud
dikakinya”. Gelak canda tawa mereka berdua tidak terlalu digubris
oleh Mulya yang hanya senyam senyum.
Selepas
mendirikan tenda dan menumpuk kayu bakar untuk api unggun, tiga
sekawan ini menyantap makan malam sambil terus melontarkan banyolan
banyolannya.
Saat
itu sekitar jam 6:30 sore. Kabut kian menggenangi pijak kaki mereka
dan mengalir masuk ke dalam tenda. Api unggun pun dibakar. Tiba tiba
sekujur tubuh Ferdi mengeluarkan keringat dingin dan demam.
“Wah.....koq’
sakit demam dadakan begini Fer ?”
“Mul,
kamu dengan Ferdi tunggu di sini dulu, aku mau cari desa terdekat
yang dapat kita singgah untuk beristirahat. Sepertinya Ferdy kurang
sehat untuk tidur di dalam tenda malam
ini”.
“Oh.....iya,
jangan lupa bawa kompasmu” sahut Mulya kepada Kardi yang beranjak
bangun berdiri memegang senter sambil
memasukan kompas ke dalam saku celananya.
Hanya
15 menit kemudian Kardi kembali ke kemah.
“Beruntung
sekali kita, hanya beberapa puluh meter dari sini ada perkampungan
penduduk. Ayo bawa Ferdi ke sana, kemahnya ini biar saja besok pagi
kita bereskan” ajak Kardi.
Mereka
pun berangkat menuju perkampungan kecil di tengah hutan.
Tepat
di samping mereka berdiri terdapat sebuah batu pembatas desa tertulis
“Desa Mawar – Gunung Kidul” dan dari situ mereka dapat melihat
ada beberapa orang dewasa sedang ngobrol dan menggendong bayi di
depan dusun, juga anak anak sedang bermain di halaman.
“Assalamualaikum.......mohon
maaf, pak, kami sedang berkemah tapi teman kami ini tiba tiba demam.
Apakah bapak berkenan mengizinkan kami untuk bermalam di sini ?”
tanya Kardi kepada salah satu bapak bercelana dan berbaju hitam.
Dari
jumlah rumah pondok kayu yang ada di lokasi tersebut, dapat
diperkirakan jumlah warga desa itu tidak lebih dari 20 orang.
Beberapa
warga desa menghampiri dan memperhatikan ketiga tamu asing ini,
begitupun anak anak yang langsung berhenti bermain kemudian
menghampiri mereka bertiga. Terlihat jelas dari tatapan mata curiga
warga desa tersebut dan kemudian saling memandang tanpa memberikan
jawaban kepada Kardi.
Sekali
lagi Kardi bertanya “Apakah kami bisa bermalam di sini untuk
semalam, Pak ?”, namun lagi lagi mereka tidak memberikan jawaban,
hanya tatapan aneh kepada ketiga anak muda asing ini.
“Kar,
sebaiknya kita balik ke tenda saja. Sepertinya mereka keberatan dan
aku merasa ada yang aneh di sini” bisik Mulya kepada Kardi.
Belum
lagi mereka beranjak pergi, “mari mari silahkan bermalam di sini,
nak, kasihan temanmu itu lagipula malam ini seperti mau hujan”
seorang nenek berkebaya rapih menyambut mereka dengan senyum
ramahnya. Warga desa memanggilnya sebagai Nenek Ijah atau nek Ijah.
Ketiga
sahabat ini memasuki gubuk si nenek yang terbuat dari kayu. Di dalam
gubuk itu terdapat satu kamar tidur dengan ranjang kecil dan ruangan
tamu yang menjadi satu dengan ruang makan juga dapur. Di sudut ruang
tamu terdapat sebuah dipan bambu yang sebelahnya juga ada tumpukan
kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan badan.
Bergegas
si nenek memasak air dan mengambil kopi bubuk untuk ketiga tamu
asingnya ini.
“Kalian
bertiga bisa istirahat di kamar, nak” ujar nek Ijah
“tidak
apa apa, nek, biar kami yang tidur di ruang tamu, nek” jawab Kardi
“Jangan,
nak. Tidak usah malu malu, nenek sudah bersihkan ranjangnya untuk
kalian” jawab si nenek berusia sekitar 70 tahun ini.
Kardi
dan Mulya kemudian merebahkan tubuh Ferdi di atas ranjang kayu. Tubuh
Ferdi sangat lemah dan tidak memiliki tenaga sama sekali. Suhu
badannya juga sangat panas.
Nek
Ijah baru saja selesai memasak ramuan penurun panas untuk diberikan
kepada Ferdi. Suara pintu diketuk dan saat pintu dibuka tampak
beberapa warga desa membawa nampan bambu yang di atasnya tersedia
beberapa jenis makanan. Tanpa bicara sepatah katapun nek Ijah
meraihnya kemudian menyuguhkannya kepada ketiga tamu asingnya itu. Di
meja kini terhidang singkong rebus, ubi rebus, sesisir pisang mas,
juga bubuk kopi dan seteko air panas.
“Semua
penduduk desa ini baik baik walaupun mereka terlihat malu untuk
berbicara dengan pendatang asing, tetapi hati mereka sungguh baik,
nak” kata nek
Ijah sambil menyodorkan secangkir minuman
kepada Kardi. “Ramuan
ini sangat baik untuk menurunkan panas. Mudah mudahan temanmu sudah
sembuh besok pagi”.
“Wah......
kami sungguh
berterima kasih atas kebaikan nenek dan
mohon maaf kami sudah merepotkan nenek dan
penduduk desa sini” ujar Kardi yang kemudian masuk ke kamar untuk
memberikan minuman yang diramu nek Ijah kepada Ferdi.
Udara
semakin dingin ditambah kabut yang kian menebal. Kala itu sekitar jam
1 malam, nek Ijah sudah tertelap tidur di ruang tamu. Suasana desa
sangat sepi, hanya suara jangkrik dan dengkur Ferdi yang terdengar.
Kardi dan Mulya masih belum dapat memejamkan mata.
Tiba
tiba, gubraaakkkk...... seseorang mendobrak pintu dusun dan berdiri
seorang pria bertelanjang dada, berkulit sawo matang dengan golok
berkilau di tangan. Diiringi beberapa pria kekar lainnya yang turut
masuk ke ruangan tamu.
“Mana
anak anak muda itu?” bentak pria kekar yang berdada penuh bulu.
“Malam ini juga mereka harus mati” tambahnya.
Seketika
itu juga nek Ijah terbangun dan berusaha melakukan perlawanan namun
hanya satu kali tampar tubuh rentanya ambruk ke lantai.
Dari
celah selembar kain pemisah ruang kamar dengan ruang tamu, Kardi dan
Mulya melihat wajah wajah bringas memandangi nek Ijah sambil
berteriak dan membentak bentaknya.
Ferdi
yang sedang tertidur lelap tersentak bangun. Mereka bertiga pun
serempak bersembunyi di kolong ranjang kayu yang gelap pekat.
Kebenaran lampu patromak di dalam kamar juga kehabisan minyak
sehingga membuat seluruh ruang kamar gelap gulita.
Seorang
pengacau menyingkapkan kain penutup kamar namun karena keadaan kamar
gelap, diapun berpikir tidak ada orang di dalam kamar.
Kemudian
para lelaki kekar itu menjambak rambut nek Ijah dan menyeretnya
keluar dusun.
Nek
Ijah menangis dan terus berteriak teriak “jangan keluar dari
dusun.....jangan keluar dari dusun.....jangan keluar dari
dusun.....”. Semua warga desa dewasa keluar rumah sambil
menggenggam parang dan segala senjata tajam siap untuk bertarung.
Kira
kira ada sekitar 30 orang pengacau yang kesemuanya bertubuh kekar
berwajah ganas. Melalui lubang bilik dusun Kardi, Mulya dan Ferdi
menyaksikan bagaimana warga desa gigih berkelahi dengan para pengacau
tersebut.
Jerit
tangis para wanita, anak anak dan bayi sangat memilukan terdengar
jelas dari dalam dusun. Kejadian itu berlangsung kurang lebih satu
jam. Lalu seketika desa kembali sepi. Tiada lagi jerit tangis, tiada
lagi benturan senjata tajam, tiada suara mengerang dan tiada lagi
teriakan nek Ijah.
Ketiga
sahabat ini melihat tubuh nek Ijah sudah terkapar berlumur darah di
tanah. Seumur hidup mereka, baru kali ini merasa benar benar takut.
Wajah merekapun pucat pasi seperti tanpa darah mengalir.
Hingga
suara azan subuh terdengar, mereka bertiga belum beranjak dari dalam
kamar dengan tubuh masih gemetar dan jantung keras berdegup.
Malam
itu sesuatu yang sangat mengerikan telah terjadi di Desa Mawar.
Bau
anyir darah membanjiri seluruh tanah desa. Potongan kepala dan
serpihan anggota tubuh berserakan tanpa terkecuali pria, wanita, anak
anak dan bayi. Seluruh penduduk desa terbantai mati.
Sekitar
jam 5 pagi langit masih gelap, Ferdi tidak lagi merasakan demam
kemudian mereka sepakat untuk segera keluar dusun untuk meninggalkan
desa dengan mengendap endap. Mereka juga terpaksa harus melangkahi
beberapa mayat dan menginjak tanah yang masih tercecer darah para
korban pembantaian.
Ketika
mereka sedang berlari, mereka bertemu dengan sekelompok petani yang
akan ke sawah. “pak tolong...... tolong kami
pak...... tolong pak”.
Para
petani pun berhenti dan segera menghampiri mereka.
“ada
apa nak ?” tanya salah satu petani.
“di
sana ada pembantaian, pak,
di Desa Mawar terjadi pembantaian tadi malam, pak. Kami menyaksikan
para perusuh membantai seluruh penduduk
desa”. “Tolong panggil Polisi,
pak…..tolong panggil Polisi, pak” dengan napas terengah engah
dan gemetar suara Kardi dan Mulya saling
bergantian.
“tenang,
nak, tenang. Nama saya Pak Sukijan dan saya Kepala Desa ini” kata
petani tersebut. “mari kita lihat kondisi di sana” sambung Pak
Sukijan sambil mengajak para petani lainnya untuk bersama sama pergi
ke Desa Mawar yang letaknya kurang dari 2 Km itu.
Setiba
di sana, masih berdiri tegak batu pembatas desa yang bertuliskan
“Desa Mawar – Gunung Kidul”, namun mereka tidak melihat sama
sekali adanya 1 dusunpun bahkan tidak ada mayat atau tetesan darah
yang tercecer di tanah.
Yang
tampak hanyalah belasan gundukan tanah kuburan dengan papan seadanya
yang sudah usang, dan salah satunya tertulis nama Siti Saijah (nek
Ijah).
Pak
Sukijan menengok ke arah wajah ketiga pemuda ini yang sejak tadi
tidak berkedip memandangi apa yang ada di hadapan mereka dengan mulut
menganga.
“Penduduk
desa ini ramah ramah dan selalu melindungi para pejuang kemerdekaan”
kata Pak Sukijan memulai ceritanya.
“Namun
suatu malam
mereka semuanya tewas tak tersisa dibantai
oleh para penghianat bangsa yang bekerja sama dengan tentara Jepang.
Termasuk seorang janda bernama Siti Saijah berserta ketiga cucu
laki lakinya yang menjadi korban”.
“Sampai
hari ini orang orang desa di sekitar sini
masih terus menerka nerka kejadian apa yang sebenarnya terjadi dan
bagaimana kejamnya
pembantaian malam
itu”.
“Mungkin
apa yang kalian saksikan tadi malam itulah
jawabannya” sambung
Pak Sukijan sambil merangkul ketiga tamunya dan mengundang mereka
untuk singgah di pendopo sawah.
Tamat.