Wednesday, December 31, 2014

BERSULANG 2015


daun daun kering itu masih berjatuhan
harum kayu bakar
entah ingatanku yang buram
atau masa terlalu kelam
retak gading pun belum rapih tersulam

rangkaian peristiwa berserakan mengisi album
tertelan hujat menghujat
murka bencana
celoteh kotor neraka
merajah bingkai menebar busuk bangkai

raga menggigil bersandar pada musim dingin
menyingkap setiap lembar kenangan
tatkala terompet tahun baru menggesek bumi
elok senyum
bersulang menjemput pagi


Kami sekeluarga mengucapkan Selamat Tahun Baru 2015.
Raymond, Debby & Leonard Liauw

Sunday, December 21, 2014

I B U


kala sepi menggoda
langkah terayun tanpa arah
entah kapan entah dimana kan bermuara
mungkin hanya derap debu mengikuti detak jantungku
ataukah hanya angin menemani desah napasku

berjuta kelakar mengembang
terhampar canda tawa
mengejar eloknya bianglala
tak kuasa menghempas dahaga
tak mampu mematah rindu

kan ku kupas setiap tetesan manja
layaknya dulu ku menyusu di pelukanmu
tertimang kasih
lembut
terbelai gumam syahdu

Ibu.......
aku mencintaimu


Selamat pagi dan Selamat hari Ibu.
Raymond Liauw

Tuesday, December 16, 2014

BUKAN HASRATKU


kamu pikir hanya elang yang mampu terbang
kamu sangka hanya danau berair tenang

bukankah sunyi menghadiri pernikahan
ramai menyambangi pemakaman

harum cendana berliuk manja
hasratku tergolek di sana

aku tidak suka mawarmu
akupun tidak suka kamu


Selamat malam dan sejahtera selalu
Raymond Liauw

BANJARNEGARA BERDUKA


bencana mengepak
terlontar duka
iblis mengulum senyum
longsor
menimbun air mata
mencabut nyawa


langitku menatap
azan mengusir malam
tercurah pagi
tersibak makna
kilau
mahligai kasih Ilahi

ya Allah ya Rabbi
jamahlah Banjarnegara


Selamat pagi dan sejahtera selalu.
Raymond Liauw

Thursday, December 11, 2014

JERITAN MALAM DESA MAWAR (Cer Pen)


Selamat menikmati malam Jumat Kliwon terakhir di tahun 2014 sambil membaca Cer Pen ku ini.


Banyak sekali kisah mistik yang telah beredar di seputar wilayah Gunung Kidul, entah benar atau tidak, namun yang pasti hal itupun juga dialami oleh tiga orang sahabat Kardi, Ferdi dan Mulya. Ketiga orang ini memiliki hobby yang sama sejak mereka masih di bangku SMA. Setiap ada libur panjang mereka tidak pernah menyia nyiakan waktunya untuk mendaki gunung dan berkemah sekalipun di tengah hutan. Mulai dari tenda, tambang hingga jarum jahit pun mereka siapkan.


Sebagaimana halnya masyarakat di Jawa Tengah, cerita cerita setan seperti kuntilanak, pocong, atau genderuwo disebarkan dari mulut ke mulut. Rasa takut akan roh halus bukan hanya dialami oleh anak anak tapi juga oleh orang dewasa. Namun semua cerita seram itu tidak berpengaruh bagi ketiga sahabat ini.


Aku kepingin sekali ketemu kuntilanak biar bisa minta kode nomor buat pasang undian harapan” celoteh Kardi dengan rokok Dji Sam Soe di celah kedua jarinya.

Kamu jangan suka takabur toh, Kar. Nanti kalau ketemu beneran kamu lari” sahut Ferdi.

Lhooo.....beneran Fer, aku kepingin sekali tanya nomor kode kepada kuntilanak, mumpung teman kita si Mulya ini ahli mengusir setan hahahaaaa.....” celetuk Kardi sambil mencolek punggung Mulya yang sejak tadi serius masih sibuk mengeluarkan bekal makanan dari dalam ranselnya.

Wah..... kalau si Mulya sih tidak diragukan lagi, Kar, Raja Setan juga sujud dikakinya”. Gelak canda tawa mereka berdua tidak terlalu digubris oleh Mulya yang hanya senyam senyum.


Selepas mendirikan tenda dan menumpuk kayu bakar untuk api unggun, tiga sekawan ini menyantap makan malam sambil terus melontarkan banyolan banyolannya.


Saat itu sekitar jam 6:30 sore. Kabut kian menggenangi pijak kaki mereka dan mengalir masuk ke dalam tenda. Api unggun pun dibakar. Tiba tiba sekujur tubuh Ferdi mengeluarkan keringat dingin dan demam.


Wah.....koq’ sakit demam dadakan begini Fer ?”
Mul, kamu dengan Ferdi tunggu di sini dulu, aku mau cari desa terdekat yang dapat kita singgah untuk beristirahat. Sepertinya Ferdy kurang sehat untuk tidur di dalam tenda malam ini”.


Oh.....iya, jangan lupa bawa kompasmu” sahut Mulya kepada Kardi yang beranjak bangun berdiri memegang senter sambil memasukan kompas ke dalam saku celananya.


Hanya 15 menit kemudian Kardi kembali ke kemah.

Beruntung sekali kita, hanya beberapa puluh meter dari sini ada perkampungan penduduk. Ayo bawa Ferdi ke sana, kemahnya ini biar saja besok pagi kita bereskan” ajak Kardi.


Mereka pun berangkat menuju perkampungan kecil di tengah hutan.

Tepat di samping mereka berdiri terdapat sebuah batu pembatas desa tertulis “Desa Mawar – Gunung Kidul” dan dari situ mereka dapat melihat ada beberapa orang dewasa sedang ngobrol dan menggendong bayi di depan dusun, juga anak anak sedang bermain di halaman.


Assalamualaikum.......mohon maaf, pak, kami sedang berkemah tapi teman kami ini tiba tiba demam. Apakah bapak berkenan mengizinkan kami untuk bermalam di sini ?” tanya Kardi kepada salah satu bapak bercelana dan berbaju hitam.


Dari jumlah rumah pondok kayu yang ada di lokasi tersebut, dapat diperkirakan jumlah warga desa itu tidak lebih dari 20 orang.

Beberapa warga desa menghampiri dan memperhatikan ketiga tamu asing ini, begitupun anak anak yang langsung berhenti bermain kemudian menghampiri mereka bertiga. Terlihat jelas dari tatapan mata curiga warga desa tersebut dan kemudian saling memandang tanpa memberikan jawaban kepada Kardi.


Sekali lagi Kardi bertanya “Apakah kami bisa bermalam di sini untuk semalam, Pak ?”, namun lagi lagi mereka tidak memberikan jawaban, hanya tatapan aneh kepada ketiga anak muda asing ini.


Kar, sebaiknya kita balik ke tenda saja. Sepertinya mereka keberatan dan aku merasa ada yang aneh di sini” bisik Mulya kepada Kardi.


Belum lagi mereka beranjak pergi, “mari mari silahkan bermalam di sini, nak, kasihan temanmu itu lagipula malam ini seperti mau hujan” seorang nenek berkebaya rapih menyambut mereka dengan senyum ramahnya. Warga desa memanggilnya sebagai Nenek Ijah atau nek Ijah.


Ketiga sahabat ini memasuki gubuk si nenek yang terbuat dari kayu. Di dalam gubuk itu terdapat satu kamar tidur dengan ranjang kecil dan ruangan tamu yang menjadi satu dengan ruang makan juga dapur. Di sudut ruang tamu terdapat sebuah dipan bambu yang sebelahnya juga ada tumpukan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan badan.


Bergegas si nenek memasak air dan mengambil kopi bubuk untuk ketiga tamu asingnya ini.

Kalian bertiga bisa istirahat di kamar, nak” ujar nek Ijah
tidak apa apa, nek, biar kami yang tidur di ruang tamu, nek” jawab Kardi
Jangan, nak. Tidak usah malu malu, nenek sudah bersihkan ranjangnya untuk kalian” jawab si nenek berusia sekitar 70 tahun ini.


Kardi dan Mulya kemudian merebahkan tubuh Ferdi di atas ranjang kayu. Tubuh Ferdi sangat lemah dan tidak memiliki tenaga sama sekali. Suhu badannya juga sangat panas.


Nek Ijah baru saja selesai memasak ramuan penurun panas untuk diberikan kepada Ferdi. Suara pintu diketuk dan saat pintu dibuka tampak beberapa warga desa membawa nampan bambu yang di atasnya tersedia beberapa jenis makanan. Tanpa bicara sepatah katapun nek Ijah meraihnya kemudian menyuguhkannya kepada ketiga tamu asingnya itu. Di meja kini terhidang singkong rebus, ubi rebus, sesisir pisang mas, juga bubuk kopi dan seteko air panas.


Semua penduduk desa ini baik baik walaupun mereka terlihat malu untuk berbicara dengan pendatang asing, tetapi hati mereka sungguh baik, nak” kata nek Ijah sambil menyodorkan secangkir minuman kepada Kardi. “Ramuan ini sangat baik untuk menurunkan panas. Mudah mudahan temanmu sudah sembuh besok pagi”.


Wah...... kami sungguh berterima kasih atas kebaikan nenek dan mohon maaf kami sudah merepotkan nenek dan penduduk desa sini” ujar Kardi yang kemudian masuk ke kamar untuk memberikan minuman yang diramu nek Ijah kepada Ferdi.


Udara semakin dingin ditambah kabut yang kian menebal. Kala itu sekitar jam 1 malam, nek Ijah sudah tertelap tidur di ruang tamu. Suasana desa sangat sepi, hanya suara jangkrik dan dengkur Ferdi yang terdengar. Kardi dan Mulya masih belum dapat memejamkan mata.

Tiba tiba, gubraaakkkk...... seseorang mendobrak pintu dusun dan berdiri seorang pria bertelanjang dada, berkulit sawo matang dengan golok berkilau di tangan. Diiringi beberapa pria kekar lainnya yang turut masuk ke ruangan tamu.


Mana anak anak muda itu?” bentak pria kekar yang berdada penuh bulu. “Malam ini juga mereka harus mati” tambahnya.


Seketika itu juga nek Ijah terbangun dan berusaha melakukan perlawanan namun hanya satu kali tampar tubuh rentanya ambruk ke lantai.

Dari celah selembar kain pemisah ruang kamar dengan ruang tamu, Kardi dan Mulya melihat wajah wajah bringas memandangi nek Ijah sambil berteriak dan membentak bentaknya.


Ferdi yang sedang tertidur lelap tersentak bangun. Mereka bertiga pun serempak bersembunyi di kolong ranjang kayu yang gelap pekat. Kebenaran lampu patromak di dalam kamar juga kehabisan minyak sehingga membuat seluruh ruang kamar gelap gulita.

Seorang pengacau menyingkapkan kain penutup kamar namun karena keadaan kamar gelap, diapun berpikir tidak ada orang di dalam kamar.


Kemudian para lelaki kekar itu menjambak rambut nek Ijah dan menyeretnya keluar dusun.

Nek Ijah menangis dan terus berteriak teriak “jangan keluar dari dusun.....jangan keluar dari dusun.....jangan keluar dari dusun.....”. Semua warga desa dewasa keluar rumah sambil menggenggam parang dan segala senjata tajam siap untuk bertarung.


Kira kira ada sekitar 30 orang pengacau yang kesemuanya bertubuh kekar berwajah ganas. Melalui lubang bilik dusun Kardi, Mulya dan Ferdi menyaksikan bagaimana warga desa gigih berkelahi dengan para pengacau tersebut.


Jerit tangis para wanita, anak anak dan bayi sangat memilukan terdengar jelas dari dalam dusun. Kejadian itu berlangsung kurang lebih satu jam. Lalu seketika desa kembali sepi. Tiada lagi jerit tangis, tiada lagi benturan senjata tajam, tiada suara mengerang dan tiada lagi teriakan nek Ijah.


Ketiga sahabat ini melihat tubuh nek Ijah sudah terkapar berlumur darah di tanah. Seumur hidup mereka, baru kali ini merasa benar benar takut. Wajah merekapun pucat pasi seperti tanpa darah mengalir.

Hingga suara azan subuh terdengar, mereka bertiga belum beranjak dari dalam kamar dengan tubuh masih gemetar dan jantung keras berdegup.


Malam itu sesuatu yang sangat mengerikan telah terjadi di Desa Mawar.

Bau anyir darah membanjiri seluruh tanah desa. Potongan kepala dan serpihan anggota tubuh berserakan tanpa terkecuali pria, wanita, anak anak dan bayi. Seluruh penduduk desa terbantai mati.


Sekitar jam 5 pagi langit masih gelap, Ferdi tidak lagi merasakan demam kemudian mereka sepakat untuk segera keluar dusun untuk meninggalkan desa dengan mengendap endap. Mereka juga terpaksa harus melangkahi beberapa mayat dan menginjak tanah yang masih tercecer darah para korban pembantaian.


Ketika mereka sedang berlari, mereka bertemu dengan sekelompok petani yang akan ke sawah. “pak tolong...... tolong kami pak...... tolong pak”.


Para petani pun berhenti dan segera menghampiri mereka.

ada apa nak ?” tanya salah satu petani.
di sana ada pembantaian, pak, di Desa Mawar terjadi pembantaian tadi malam, pak. Kami menyaksikan para perusuh membantai seluruh penduduk desa”. “Tolong panggil Polisi, pak…..tolong panggil Polisi, pak” dengan napas terengah engah dan gemetar suara Kardi dan Mulya saling bergantian.


tenang, nak, tenang. Nama saya Pak Sukijan dan saya Kepala Desa ini” kata petani tersebut. “mari kita lihat kondisi di sana” sambung Pak Sukijan sambil mengajak para petani lainnya untuk bersama sama pergi ke Desa Mawar yang letaknya kurang dari 2 Km itu.


Setiba di sana, masih berdiri tegak batu pembatas desa yang bertuliskan “Desa Mawar – Gunung Kidul”, namun mereka tidak melihat sama sekali adanya 1 dusunpun bahkan tidak ada mayat atau tetesan darah yang tercecer di tanah.

Yang tampak hanyalah belasan gundukan tanah kuburan dengan papan seadanya yang sudah usang, dan salah satunya tertulis nama Siti Saijah (nek Ijah).


Pak Sukijan menengok ke arah wajah ketiga pemuda ini yang sejak tadi tidak berkedip memandangi apa yang ada di hadapan mereka dengan mulut menganga.


Penduduk desa ini ramah ramah dan selalu melindungi para pejuang kemerdekaan” kata Pak Sukijan memulai ceritanya.

Namun suatu malam mereka semuanya tewas tak tersisa dibantai oleh para penghianat bangsa yang bekerja sama dengan tentara Jepang. Termasuk seorang janda bernama Siti Saijah berserta ketiga cucu laki lakinya yang menjadi korban”.

Sampai hari ini orang orang desa di sekitar sini masih terus menerka nerka kejadian apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kejamnya pembantaian malam itu”.

Mungkin apa yang kalian saksikan tadi malam itulah jawabannya” sambung Pak Sukijan sambil merangkul ketiga tamunya dan mengundang mereka untuk singgah di pendopo sawah.


Tamat.

Monday, December 8, 2014

TAWA IBLIS


kala mendung memagar langit
angin tetap menyapu...
walau bibir berucap pahit
nurani bersenandung syahdu
biarlah licin jalan terparut
amboi
kelok liuk cantik terajut

banyak duri di tangkai
tiada tergubris eloknya mawar
tinggi hati tak terlerai
masya Allah
tawa iblis serasa benar


Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

Monday, December 1, 2014

ISTIGHFAR


di kala mata terpejam
tangis membanjiri kerak bumi
peluh bernoda dosa
kelam jalan tercela
kotor diri najiz di hati
pasrah melantun zikir
di hamparan sajadah tobat merintih
berharap ampunan Ilahi



Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

K U D E T A


rembulan merapat
melata diantara kabut
kelam melengking
menjarah dingin
mengendap
gelisah terjinjing

hasrat meronta
terpekak genderang pesta
rasa mendidih kian berbuih
tak sabar hati menjemput pagi
banjir darah
cahaya terbalut duka


Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

Wednesday, November 26, 2014

BIARKAN TANGISKU MENGHANTAR IBU MENGHADAP-MU (Cerita Pendek)



ampun bu......ampun bu......” jerit tangis Ari menahan perihnya cambuk rotan sang Ibu.


Halimah adalah seorang ibu muda berpendidikan rendah yang ditinggal pergi oleh suaminya yang menikah lagi dengan wanita lain. Dari buah perkawinannya, Halimah memiliki dua orang anak, Ari dan Siti.

Ari adalah anak sulung Halimah berusia 8 tahun dan duduk di bangku kelas II SD, sedangkan Siti adalah si bungsu yang masih berusia 4 tahun. Mereka bertiga tinggal di rumah gubuk kayu di sebuah kota kecil berpenduduk miskin. Ketika suaminya masih bersamanya, Halimah bekerja sebagai pemulung mengumpulkan botol botol bekas dan kertas untuk dijual di pasar.

Banyak sekali kesamaan fisik Ari dengan mantan suami Halimah, terutama raut wajahnya. Hal inilah yang membuat kasih sayang Halimah terhadap Ari tidak sebesar kasih sayangnya terhadap Siti.


Beban derita yang ditanggung oleh Halimah semakin hari semakin berat sehingga diapun terpaksa bekerja di warung remang melayani para pria hidung belang. Tatapan sinis dan cemooh para tetangga tidak pernah lagi digubrisnya. Dia bekerja mulai selepas magrib hingga dini hari. Rata rata pelanggannya adalah para supir truk dari luar kota yang mencari kepuasan sesaat.

Layaknya seorang pedagang eceran keliling yang tidak memiliki penghasilan tetap, begitupun dengan Halimah yang terkadang memperoleh banyak tamu tetapi juga tidak jarang dia tidak mendapatkan satupun tamu. Gemerlap kehidupan malam telah membuatnya kecanduan narkoba.

Pikiran dan prilakunya semakin hari semakin tidak terkontrol terlebih setelah si bungsu Siti meninggal dunia karena penyakit typhus. Terlihat jelas saat Ari yang nakal membuat suatu kesalahan entah itu kecil apalagi besar, maka Halimah langsung mengambil cambuk rotan untuk dihujamkan ke hampir seluruh bagian tubuh Ari.


Di suatu pagi, Ari yang sudah siap berangkat ke sekolah tidak sengaja menyenggol gelas di meja dan menumpahkan air yang ada di dalamnya. Halimah yang semalaman tidak mendapatkan “tamu” dan baru pulang jam 4 pagi itu belum sempat tidur kemudian melampiaskan kekesalan dan kemarahannya kepada Ari.

Berulang kali rotan dicambukan ke tubuh Ari tanpa ampun hingga tiada lagi terdengar suara jerit tangis Ari.

Para tetangga berdatangan untuk segera mengamankan Halimah yang sudah seperti kerasukan setan, lalu beberapa orang membawa Ari yang tidak sadarkan diri ke Rumah Sakit. Pada hari itu Ari mendapat perawatan serius di ruang gawat darurat yang masih belum siuman hingga menjelang malam.


Keesokan paginya, Halimah berserta beberapa tetangga kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Ari.


Apa saya bisa bicara dengan orang tua Ari” tanya Dr. Daud.

Saya ibunya Ari, Pak Dokter” sahut Halimah.

Dr. Daud menghela napas panjang sebelum berkata “Kami sudah berusaha sebisa kami, namun kondisi tulang kaki kanan anak ibu sepertinya tidak dapat lagi diselamatkan dan harus diamputasi”. Seperti petir di siang hari, Halimah menangis menyesali perbuatannya namun semua sudah terlambat.


Dr. Daud sebenarnya sudah mendengar dari para tetangga Halimah tentang kejadian apa yang menimpa Ari namun beliau tidak mau membahasnya karena hanya akan membuat hati Halimah semakin hancur. Dr. Daud adalah seorang pria paruh baya yang bijaksana dan sudah menikah lebih dari 20 tahun namun belum dikaruniai seorang anakpun. Istrinya bernama Shinta adalah mantan asistennya di rumah sakit. Pasangan harmonis ini sering dijadikan teladan oleh para sahabatnya.


Saya tidak punya uang untuk biaya operasi, Dok” kata Halimah.

mengenai biaya operasi ibu tidak perlu khawatir dan kalau ibu tidak keberatan, setelah operasi nanti Ari dapat tinggal di tempat saya dulu sampai Ari benar benar merasa nyaman memakai kaki palsunya”.

Atas saran para tetangga yang mengantarnya ke rumah sakit, dan merasa tidak mampu merawat Ari maka Halimah pun menganggukan kepala, “terima kasih Dok, semua ini kesalahan saya”.


Dalam satu bulan pertama Ari tinggal di rumah Dr. Daud, Halimah mengunjunginya setiap minggu, setelah itu Halimah seperti tidak pernah lagi peduli dengan Ari. Di akhir pekan atau hari libur Dr. Daud mengajak Ari mengunjungi Halimah namun Halimah selalu memiliki alasan untuk tidak mau menemui dan ngobrol dengan mereka terlalu lama.


Setahun sudah Ari tinggal bersama keluarga Dr. Daud yang sudah menganggap Ari seperti anak kandungnya sendiri dan Ari-pun sangat senang tinggal bersama mereka. Sampai suatu saat Dr. Daud bersama Shinta mengajukan permohonan kepada Halimah untuk mengadopsi Ari menjadi anak angkatnya.


Kalau dokter mau meng-adopsi Ari boleh saja tapi dokter juga harus memberikan uang penggantian kepada saya karena saya yang melahirkan Ari” pinta Halimah sambil mengepulkan asap rokok dari celah bibirnya yang bergincu merah muda.

Seperti yang sudah diduga sebelumnya oleh pasangan Dr. Daud dan Shinta, maka permintaan Halimahpun tersebut tidak mereka tolak bahkan memberikan lebih dari jumlah yang diminta oleh Halimah.

Dengan menggunakan jasa pengacara maka Ari-pun resmi menjadi anak angkat mereka. Tidak berapa lama kemudian Dr. Daud mendapat tugas baru dan keluarga merekapun pindah ke ibu kota.


Ari sepertinya sudah terbiasa dan tidak lagi terbebani dengan kaki kanannya yang palsu. Hari harinya selalu diisi dengan canda tawa bersama kedua orang tua angkatnya yang begitu mencintainya.


Sejak ikut dengan keluarga Dr. Daud, sudah ratusan kali Ari mengirim surat kepada Halimah, namun tidak pernah sekalipun surat Ari mendapat balasan. Bahkan Halimah juga tidak hadir saat Ari mengundangnya pada wisuda Sarjana Kedokterannya.


Rasa rindu Ari kepada Halimah tidak tertahankan, sehingga Ari pergi ke kampung halamannya untuk menjenguk ibu kandung yang melahirkannya. 

Kondisi Halimah saat itu sudah kian parah. Dia tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Minuman keras dan narkoba sudah mendarah daging di tubuhnya.


Ibu sebaiknya berhenti dengan barang barang maksiat itu, bu, biar nanti Ari bawa ibu ke panti rehabilitasi supaya ibu dapat sehat kembali”.

Kamu baru jadi Dokter saja sudah mau mengajari ibumu ?” “Sekarang juga kamu keluar dari rumah ini, kamu sudah bukan anakku lagi” bentak Halimah kepada Ari dengan telunjuk mengarah ke pintu keluar.


Bertahun tahun Ari tidak mengunjungi Halimah dan setiap bulan Ari hanya mentransfer uang sebagian dari penghasilnya kepada Halimah.

Kebiasaan Ari mengirimkan surat dan foto foto terbarunya juga masih belum berubah.

Pada bagian atas surat Ari selalu menuliskan kalimat “Salam sejahtera dan sehat selalu untuk Ibu ku tercinta”. Sedangkan di bagian bawah surat, tertulis “Ari akan selalu sayang dan tersenyum untukmu Ibu”.


Senja itu selepas makan malam sekitar jam 6 sore, seseorang mengetuk pintu pagar.

Siapa yang mengetuk pintu yah, ri” tanya Dr. Daud dan Ari-pun bergegas keluar untuk melihat tamu yang datang.

Oh...Pak Bejo dan Ibu Rusmini, mari silahkan masuk. Apa kabar ?” tanya Ari kepada kedua tamunya.

Pa Ma, ini lho ada pak Bejo dan bu Rusmini dari kampung” kata Ari kepada Dr. Daud dan Shinta.

Pasangan suami istri Pak Bejo dan Ibu Rusmini sepertinya sangat terburu buru dan tak sabar lagi untuk menyampaikan suatu berita penting kepada keluarga Dr. Daud terutama kepada Ari.


Begini, ri, kami mau mengabarkan Ibu Halimah masuk rumah sakit tadi pagi” pak Bejo memulai pembicaraan.

Ibu sakit apa Pak” tanya Ari dengan reflek.

Entahlah, ri, nanti saja biar Ari yang tanya dokter di rumah sakit” jawab pak Bejo agak gugup.

Malam itu juga mereka berlima berangkat menuju stasiun kereta agar besok pagi pagi sekali sudah dapat menjenguk Halimah di rumah sakit.


Setibanya di rumah sakit, mereka bertemu dengan dokter yang menangani Halimah, dan ternyata pembuluh darah otak Halimah pecah akibat penggunaan narkoba yang over dosis.


Maafkanlah Ibu bila selama ini Ibu telah membuatmu menderita, ri” suara gemetar Halimah yang tak mampu lagi membendung air mata.

Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya sudah sangat lemah namun tetap memaksakan telapak tangan kanannya menjamah wajah Ari.


Ibu jangan tinggalkan Ari, bu. Ari sangat sayang kepada Ibu” “Ibu juga tidak pernah bersalah kepada Ari. Tanpa Ibu, Ari tidak akan pernah jadi begini” nanti kalau sudah sembuh Ibu tinggal bersama Ari yah, bu”.

Tetesan tetesan bening itu kian deras mengalir di kedua sudut mata Ari yang juga meletakan kedua tangannya di wajah ibunda.


Sejenak Halimah terdiam sambil memandangi raut wajah putra kandungnya yang pernah dia sia siakan. Ujung ibu jarinya lembut menghapus tetesan bening di pipi Ari, kemudian tersenyum dan berkata “Ari, kamu sudah besar dan kamu anak baik, nak, Ibu bangga sekali kepadamu”.


Perlahan kedua kelopak mata Halimah tertutup. Telapak tangan kanannya yang sejak tadi menempel di pipi Ari terlepas lunglai dan tubuhnya mulai mendingin, namun senyuman masih menempel di antara kerut wajahnya.
Dr. Daud dan Ibu Shinta yang duduk di sebelah Ari tidak dapat menahan tangis pedihnya sambil merangkul tubuh Ari yang mendekap jasad kaku Halimah.


Tamat.

Saturday, November 22, 2014

TERIRIS


janji terajam dusta
terpatah senja
kenangan belum lagi memudar
kelam kian mememar
tergarang hati
tak lelap raga
malamku mencabik cinta


Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

MENJEMPUT KILAU


mimpi masih ku lalui
berliku tanpa tepi
retak terbakar terik
legam terkikis kusam


langkah mengarah bayu
cemara bersimpati
terenyah senyum
setitik kilau tlah menanti


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

ASA MELANGKAH


rintik bening itu masih tercurah
pun luka masih bernanah
mengerucut lorong
terhimpit di antara dua sisi
entah ke mana langkah mengarah
asa menggapai cahaya
iblis sinis tertawa


 
Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

BERCABANG CINTA


bayangku masih berlayar
mengarungi lembah berduri
melintasi gurun mendaki
terkatub bibir tak berkata
jerit hati tanpa suara


kasih tlah menjadi arang
gersang kerontang
tiada lagi rantai teruntai
terhempas debu
cintamu bukan lagi satu

 
Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

LEMBAH PARA JELATA


lembayung kian merona
liuk bayu mengguyur padi
subur tanah di pijak bumi
tikus mengerat
termamah lumbung tiada karat


lihatlah di lembah sana
daun merintih
ranting melaknat

sunyi
jelatapun meratap darah


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

MERUNDUNG


pagi berselubung mendung
kabut masih melarung
pori aspal terkatup rapat
mentari berpijak lambat
kilau setitik asa
bergantung hanya pada Sang Pencipta


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

Tuesday, November 18, 2014

LAMBAIAN TERAKHIR SEORANG SAHABAT (Cer Pen)


Dua orang pria berjalan beriringan sambil ngobrol dengan pakaian yang sudah basah kuyup, seakan hujan bukanlah penghalang bagi mereka untuk saling bercerita dan tertawa.


hari ini gue dapet penumpang baik banget lho, Bon. Bayar ongkosnya dilebihin 20 ribu perak”.

Wah untung banget luh, to, kagak kayak gue malah dapet penumpang gila nuduh Taxi gue pake argo kuda segala, padahal emang dia yang duitnya kurang”.


Demikianlah obrolan dua sahabat kental Suwito dan Bonar yang sehari harinya bekerja sebagai supir Taxi.


Bon, sampai ketemu besok deh. Gue mau pulang langsung mandi nih biar gak' sakit” ujar Suwito persis di depan rumah Bonar.


Bang Bonar koq' basah basah begitu ?” tanya Anggie istrinya yang selalu setia menanti suami pulang kerja.

iya tuh si Suwito ngajak aku pulang tadi sebab kalau tunggu hujan akan lama berhentinya”.


Rumah Suwito hanya beberapa puluh meter jaraknya dari rumah Bonar. Sedangkan kantor mereka terletak di jalan raya yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit melalui gang tikus.

Walaupun baru saling mengenal kurang dari tiga tahun tetapi keluarga mereka sepertinya sudah saling mengenal puluhan tahun. Di kala hari libur kedua keluarga terkadang melakukan piknik bersama.


Suwito dan Bonar memiliki hobby bermain catur, apalagi kalau esoknya libur mereka bisa bermain sampai dini hari.


Suatu sore setelah makan malam, Bonar melakukan persiapan yang dapat dinikmati saat bermain catur bersama Suwito yang biasanya datang setelah sembahyang Isya.

Sambil mengharapkan kedatangan sahabatnya, Bonar menonton acara TV yang membosankan, padahal jam sudah menunjukan angka 11 malam namun Suwito masih juga belum datang, hand phone Suwito juga tidak aktive.


Nyala lampu patromak di beranda rumah bergoyang-goyang ditiup angin, redup cahayanya. Kabut lebat mengambang di jalan lengang seperti kota mati yang ditinggalkan penduduk karena adanya bencana. Para tetangga tertidur lelap menikmati udara malam yang kian dingin.

Bonar pergi ke kamar untuk segera tidur.

Suwito tidak datang, bang ?” tanya Anggie. “Tidak. Mungkin dia ambil lemburan malam ini atau sedang mempersiapkan strategy biar menang catur melawanku besok pagi” canda Bonar.


Tidak berapa lama kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu. “hadeuuuhhh......kemana saja luh, to ? sudah jam 11 lewat 10, gue pikir kagak jadi datang, luh”. “ayo masuk......ayo masuk, minggu lalu gue kalah tapi malam ini gue lumat luh......hahahaaa......” begitu reaksi canda bahagia Bonar menyambut Suwito.


Mereka berdua segera mempersiapkan diri masing masing dengan menyeduh kopi tubruk dan singkong rebus sebagai camilan yang sudah dipersiapkan Bonar sejak sore tadi.


Hari ini gue bawa ibu hamil, kasihan juga ngeliatnya itu air ketuban sudah pecah, udah gitu suaminya lagi tugas ke luar kota, mudah mudahan bayi dan ibunya selamat” “gue juga kagak tega minta ongkos Taxi-nya, biar aja itung itung amal dech”. Bonar memulai pembicaraannya dengan Suwito yang malam itu masih lengkap mengenakan seragam kerjanya.


Harum kayu bakar di malam hari selalu dinanti Suwito dan Bonar saat keduanya saling mengadu strategy memindahkan buah buah catur.

Layaknya Anatoly Karpov melawan Gary Kasparov, kedua sahabat ini serius sekali mengatur strategy permainan caturnya. Nah......bener kan, to yang gue bilang, belum juga jam 3 pagi gue sudah hajar luh 3:0 hahaa.....” tawa Bonar bangga dengan kemenangannya.

ngomong ngomong siapa yang bakar kemenyan malam malam yah, to ?” tanya Bonar sambil mengendus ngenduskan hidung.


Suwito yang sejak datang belum mengucapkan sepatah katapun masih mengerutkan kening dengan tatapan tajam ke meja catur seperti seorang Maestro.


Begitu azan Subuh terlantun. Suwito meregangkan tubuhnya dan berkata “Bon, gue kagak punya teman yang baiknya seperti elu dan secocok dengan elu. Gue sih kepengen banget kalau kita berteman terus sampai kakek kakek. Gue mau pulang dulu yah. Tolong sampaikan sama Anggie gue pamit pulang, jalan gue jauh sekali nih”.


Ok ok, gue juga ngantuk nih. Tumben luh pamitan sama istri gue, elu kan tau kalau istri gue sudah tidur dari tadi, lagian memangnya elu mau pulang kemana sih ? cuma jalan kaki sepuluh langkah nyampe juga pake bilang jauh segala luh. Mengigau kali luh yah kalah 4:0 malam ini......heheee......” canda Bonar.


Suwito hanya tersenyum lalu melambaikan tangannya kemudian berlalu. Terlihat jelas dari tatapan mata Suwito seakan dia masih ingin sekali ngobrol dan bermain catur bersama sahabat karibnya itu.


Bonar terbilang suami yang pengertian terhadap istri. Dia sudah terbiasa merapihkan meja dan mencuci gelas bekasnya.

Baru saja Bonar merebahkan tubuhnya di pembaringan terdengar suara ketuk pintu agak keras sehingga membangunkan Anggie yang sedang pulas. “pagi pagi buta begini siapa yang ketuk pintu yah, bang ?” dor....dor.....dor.....ketukan pintu semakin keras dan bertubi tubi.

Ang, coba kau tengok dari jendela tapi jangan dibuka pintunya” sahut Bonar yang langsung menyambar parang di balik pintu.


Anggie bergegas ke ruang tamu dan mengintip dari jendela tapi sesaat kemudian Anggie membuka pintu.


Ada apa, Sri ? koq’ kayaknya ada yang tidak beres” tanya Anggie sambil memandangi wajah Sri yang pucat pasi. Sri adalah istri Suwito.

iya Ang, saya mau kasih kabar suamiku mengalami kecelakaan kemarin sekitar jam 11 malam dan..... dan..... sekarang jenazahnya ada di RSCM” jawab Sri terputus putus dengan isak tangis.


Bonar yang masih mengenakan kain sarung dan menggenggam parang lari tergopoh gopoh dari dalam rumah “siapa yang meninggal ? haaa…siapa yang meninggal ?” lalu meletakan parangnya di atas meja tamu ketika mengetahui yang datang adalah istri sahabat karibnya.

ini bang......Sri kasih kabar katanya Suwito dapat kecelakaan sekitar jam 11 kamarin malam dan sekarang jenazahnya ada di RSCM” sahut Anggie gemetaran.

haaaa......mana mungkin, setengah jam yang lalu baru pulang dari sini” teriak Bonar tidak percaya dan panik.

saya juga baru dapat kabar dari petugas piket malam kantor, bang Bonar. Pantasan dia tidak pulang ke rumah tadi malam” sahut Sri yang masih terisak tangis.

Lhooo...... Sri, suami kau si Suwito itu tadi malam datang ke sini main catur denganku dan barusan pulang”.

Tidak tau lah, bang Bonar. Barusan Pak Joko – Supervisornya menelphone saya, dia bilang jenazah Suwito sudah ada di kamar mayat RSCM, bang, beberapa temannya yang bertugas malam juga sudah kumpul di sana”.


Lima tahun sudah Suwito dimakamkan, namun Bonar masih belum dapat menerima kenyataan bahwa sahabat karibnya itu telah tiada.

Lambaian terakhir Suwito telah membuatnya sangat mengerti arti sebuah persahabatan. Tak habis dimakan rayap, pun takkan lenyap menguap. Kenangan indah akan selalu melekat dalam pribadi sahabat sejati.


Tamat.

Wednesday, November 12, 2014

HANYA SATU KATA


ketika elang bebas terbang
bunga bakung haus di tengah ilalang
berbilik jendela kusam
gersang mencekam

rintih napas berdesing peluru
geram jiwa raga di tandu
mengais asa
mencari sebuah kata

Palestina
tiada kau pinta berjuta aksara
hanya satu
MERDEKA !!


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

BEBASKAN HATI


tumpukan batu membeku
berjajar lapis duri
kokoh tanpa celah
rapat tak berjendela

mendung termangu
bau
kusam berdebu

hari kan berganti
pagi belum lagi mati
jangan berkeras hati
lepaskan hujan bebas berlari


Salam sejahtera selalu,
Raymond Liauw

Saturday, November 1, 2014

BISIKAN TINTA UNTUKMU TERKASIH


harum cendana itu melintasi kesunyian malam
ketika mentari lelap dipeluk kelam
lembut napas rembulan
cantik mawar memikat hujan
langkah menelusuri usia
gemulai jemari menyulam aksara
memadu syair
tinta berbisik mesra
untukmu yang tercinta


happy birthday my dearest Debby”


your love,
Raymond Liauw

Thursday, October 23, 2014

A S M A R A N I


asaku menapaki kerak bumi
sayup terlantun petikan kecapi
melangkah pasti bersama pelangi
angan berlari mengejar mimpi
risau gelisah
alamku bukanlah alammu
nasibku bukanlah nasibmu
ilusi tiada arti lenyap terkunyah takdir Ilahi

asmarani
aksara kokoh menyambut pagi

 

Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

Wednesday, October 22, 2014

GELIAT MALAM


kala raga menggeliat bangga
tak sanggup hentikan dahaga
terpampang indah fatamorgana
halus lembut
gemulai gelora cinta

gemericik hujan menyapa
malam melangkah
nada desah berpesta
tak terbendung
cengkram birahi bersenandung


Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

Monday, October 20, 2014

KENANGAN DUA SAHABAT LAMA (Cer Pen)



Sri, aku tidak bisa datang belajar ke rumahmu hari ini sebab ibuku sakit”. “Oh iya tin, tidak apa apa, lain kali saja. Salam untuk ibumu semoga cepat sembuh yah, tin”.

Sri dan Entin berteman sejak masih di bangku SD. Hubungan mereka akrab sekali seperti kakak beradik. Mereka berdua pun adalah pelajar teladan di sekolahnya dan selalu memperoleh predikat juara pertama atau kedua.


Walaupun Entin masih berusia 14 tahun dan duduk di kelas 2 SMP tapi perawakannya yang bongsor dan dengan wajahnya yang manis berkulit kuning langsat membuat para pria menyukainya tanpa kecuali bahkan para pria paruh baya.

neng Entin, kumaha eui, baru pulang sekolah ?” tanya sopan Pak Romi pria yang sudah lebih dari 8 kali menikah dan yang kini memiliki 3 istri resmi. “iya, damang Pak Rom” sahut Entin yang bergegas langsung masuk ke dalam rumahnya.

Bagi masyarakat desa, Pak Romi merupakan sosok pria yang cukup terpandang. Selain memiliki sawah dan usaha perternakan, sebagian besar penduduk desa juga bekerja untuknya. Beliau terkenal ramah dan suka menolong sehingga membuat penduduk desa sungkan dan tidak segan segan untuk menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan istri oleh beliau.


Pak Suroso, ayah Entin adalah salah seorang buruh tani yang bekerja untuk Pak Romi, sedangkan Ibu Sanem, ibunda Entin bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Kedua adik Entin masih duduk di kelas 1 dan kelas 3 sekolah dasar.


Sudah beberapa bulan ini Pak Suroso jarang bekerja karena kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Penghasilan Ibu Sanem tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membeli obat. Beruntung sekali Pak Romi masih terus membayar gaji Pak Suroso walaupun jarang masuk kerja, dan sesekali waktu Pak Romi memberinya uang lebih.


tin, sepertinya ayah sudah tidak akan lama lagi dapat bertahan” kata Pak Suroso kepada Entin di suatu malam.
ayah jangan bicara seperti itu dong, Entin jadi sedih. Ayah banyak istirahat saja biar cepat sembuh” jawab Entin sambil menitikan air mata. Begitupun Ibu Sanem yang duduk di sebelah Pak Suroso turut meneteskan air matanya.
Pak Romi selama ini sudah banyak membantu keluarga kita” sambung sang ayah “sudah lama dia bilang kalau dia mau menjaga kamu dan menjadikanmu istrinya”. Mendengar hal itu, hati Entin tersentak menahan sedih karena apa yang ditakutkan selama ini akan segera terjadi, namun Entin berusaha untuk menutupi kekhawatirannya itu.
bila menurut ayah dan ibu hal itu adalah yang terbaik, Entin akan mengikuti keinginan ayah dan ibu” sahut Entin dengan bibir gemetar dan tidak dapat lagi menangan linangan air matanya.


Beberapa hari kemudian, Pak Romi bertamu ke rumah Pak Suroso untuk membicarakan masalah hubungannya dengan Entin. Pak Suroso dan istri bersedia menyerahkan Entin kepada Pak Romi untuk dijadikan istri namun Pak Romi diminta menunggu sampai Entin lulus SMA.
Dengan berat hati, Pak Romi pun menerima persyaratan keluarga Pak Suroso tersebut.


Ketika Entin di bangku kelas 2 SMA, Pak Suroso meninggal dunia karena kanker paru paru. Sejak itu Pak Romi semakin sering menyambangi rumah keluarga Entin sambil membujuk Entin untuk mempercepat pernikahan mereka. Namun, Ibu Sanem dan Entin berkeras tetap menolaknya sesuai dengan pesan Almarhum Pak Suroso sebelum meninggal dunia. Hal inilah yang membuat Pak Romi naik pitam yang akhirnya membatalkan perjanjian mereka dan tidak lagi mensupport keuangan untuk keluarga ibu Sanem. Kemudian Pak Romi menikahi gadis desa yang tidak lain adalah Sri sahabat baik Entin sejak masa kanak kanak.
 
setelah lulus SMA ini rencanamu apa, tin”.
entah, Sri. Mungkin aku mau cari kerja saja untuk membiayai keluarga dan adik adikku”.

Sri yang saat itu sudah menjadi istri Pak Romi hanya dapat menunduk karena tidak ada lagi peluang baginya untuk melanjutkan kuliah atau bekerja selain menjadi ibu rumah tangga. Keduanya saling berpelukan dan berharap persahabatan mereka terus berlanjut. Namun tidak demikian dengan Pak Romi yang merasa sakit hati dengan keluarga Entin, sehingga beliau melarang Sri untuk bergaul dengan Entin berserta keluarganya.


Di bangku SMA, Entin yang menyenangi pelajaran Fisika dan Kimia memilih jurusan IPA dan menunjukan prestasi yang luar biasa sehingga berhasil meraih juara umum di sekolahnya.


Kisah prestasi Entin di SMA sampai ke telinga salah seorang pejabat daerah yang kemudian menghubungi pihak sekolah untuk membantu Entin memperoleh bea siswa penuh di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.
Semakin berisi semakin merunduk padi, prestasi Entin di perguruan tinggipun semakin menjadi.
Dikala Entin sedang menyusun skripsi untuk menyelesaikan Program Sarjana, Entin juga berhasil melewati tes untuk kelak memperoleh bea siswa kuliah Pasca Sarjana di negara Jerman.


Tiada seorangpun yang dapat meramal siapa jodoh kita dan kapan atau dimana kita akan bertemu. Begitu pula dengan Entin yang tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dia akan bersuamikan seorang pria yang berbeda bangsa, budaya maupun bahasa. Kini mereka tinggal di kota Hamburg bersama dua buah hati mereka.


Atas saran para sahabatnya yang juga sesama perantauan dari Indonesia, Entin bergabung untuk memiliki akun Face Book.


Setelah lebih dari 30 tahun sejak berpisah dengan Sri, akhirnya pada tahun 2009 mereka bertemu di dunia maya. Hampir di setiap kesempatan mereka saling berkomunikasi.
Tahun 2010 Entin bersama keluarganya berlibur ke Indonesia mengunjungi ibunda Entin yang sudah mengikuti kedua adiknya tinggal di Jakarta.
Pada liburan itu, Entin menyempatkan diri mengunjungi desa kelahirannya di pinggiran kota Bandung dan berhasil menemui Sri.
Tangis bahagia dua orang sahabat terlepas bebas.


inilah hidupku sekarang, tin. Sejak Pak Romi meninggal 25 tahun lalu aku tinggal bersama anak tunggalku dan menjaga kedua cucuku ketika mereka pergi ke sawah”.


Di hadapan mereka ada dua anak kecil yang sedang bermain congklak. Perlengkapan alat main congklak tersebut terlihat sudah kusam dengan suatu goresan di bagian ujungnya yang juga sudah hampir pudar, namun masih dapat terbaca S & E.


Teringatlah oleh mereka berdua kenangan lama yang begitu indah dan takkan pernah terlupakan. Dengan melinangkan air mata Entin memeluk Sri lalu berkata “kamu masih menyimpannya”.



Salam Sejahtera dan Sehat selalu,
Raymond Liauw


Thursday, October 16, 2014

MIMPI BURUK


terhampar gersang di pelupuk mata
gurun menggeliat
tanpa ruas embun mengalir
tandus kerontang
terbungkus terik garang

kepak liar mencari mangsa
kelakar angin menggulung asa
tak bersuara
menengadah berharap hampa

raga mungil mengerang
mencari tetesan susu basi
menimang kutu busuk
pasrah
mimpi bercumbu kutuk


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

Wednesday, October 15, 2014

BUNTU


rimbun daun terkikis angin
belantara terlumat kering
riak berteriak
menjarah petak petak langkah
mengendus hidung berburu
berlari kaki mengejar bukti


jauh di dasar jantung mawar
napas tersembunyi
resah memeluk jemari
terpejam mata
kumbang mati
saksi kunci


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw

Friday, October 10, 2014

BERSAMA HENING MALAM


mengalir hening di rembang sunyi
menyelusuri lembar malam
menguak tirai
sepi tak bertepi
malu tak tersembunyi
disaksikan serpihan sinar rembulan
berdawai sastra
luluh sang jelita
dua desah kian menyatu
tiada lain
hanya kau dan aku


Salam kasih dan sejahtera selalu,
Raymond Liauw