Wednesday, December 31, 2014

BERSULANG 2015


daun daun kering itu masih berjatuhan
harum kayu bakar
entah ingatanku yang buram
atau masa terlalu kelam
retak gading pun belum rapih tersulam

rangkaian peristiwa berserakan mengisi album
tertelan hujat menghujat
murka bencana
celoteh kotor neraka
merajah bingkai menebar busuk bangkai

raga menggigil bersandar pada musim dingin
menyingkap setiap lembar kenangan
tatkala terompet tahun baru menggesek bumi
elok senyum
bersulang menjemput pagi


Kami sekeluarga mengucapkan Selamat Tahun Baru 2015.
Raymond, Debby & Leonard Liauw

Sunday, December 21, 2014

I B U


kala sepi menggoda
langkah terayun tanpa arah
entah kapan entah dimana kan bermuara
mungkin hanya derap debu mengikuti detak jantungku
ataukah hanya angin menemani desah napasku

berjuta kelakar mengembang
terhampar canda tawa
mengejar eloknya bianglala
tak kuasa menghempas dahaga
tak mampu mematah rindu

kan ku kupas setiap tetesan manja
layaknya dulu ku menyusu di pelukanmu
tertimang kasih
lembut
terbelai gumam syahdu

Ibu.......
aku mencintaimu


Selamat pagi dan Selamat hari Ibu.
Raymond Liauw

Tuesday, December 16, 2014

BUKAN HASRATKU


kamu pikir hanya elang yang mampu terbang
kamu sangka hanya danau berair tenang

bukankah sunyi menghadiri pernikahan
ramai menyambangi pemakaman

harum cendana berliuk manja
hasratku tergolek di sana

aku tidak suka mawarmu
akupun tidak suka kamu


Selamat malam dan sejahtera selalu
Raymond Liauw

BANJARNEGARA BERDUKA


bencana mengepak
terlontar duka
iblis mengulum senyum
longsor
menimbun air mata
mencabut nyawa


langitku menatap
azan mengusir malam
tercurah pagi
tersibak makna
kilau
mahligai kasih Ilahi

ya Allah ya Rabbi
jamahlah Banjarnegara


Selamat pagi dan sejahtera selalu.
Raymond Liauw

Thursday, December 11, 2014

JERITAN MALAM DESA MAWAR (Cer Pen)


Selamat menikmati malam Jumat Kliwon terakhir di tahun 2014 sambil membaca Cer Pen ku ini.


Banyak sekali kisah mistik yang telah beredar di seputar wilayah Gunung Kidul, entah benar atau tidak, namun yang pasti hal itupun juga dialami oleh tiga orang sahabat Kardi, Ferdi dan Mulya. Ketiga orang ini memiliki hobby yang sama sejak mereka masih di bangku SMA. Setiap ada libur panjang mereka tidak pernah menyia nyiakan waktunya untuk mendaki gunung dan berkemah sekalipun di tengah hutan. Mulai dari tenda, tambang hingga jarum jahit pun mereka siapkan.


Sebagaimana halnya masyarakat di Jawa Tengah, cerita cerita setan seperti kuntilanak, pocong, atau genderuwo disebarkan dari mulut ke mulut. Rasa takut akan roh halus bukan hanya dialami oleh anak anak tapi juga oleh orang dewasa. Namun semua cerita seram itu tidak berpengaruh bagi ketiga sahabat ini.


Aku kepingin sekali ketemu kuntilanak biar bisa minta kode nomor buat pasang undian harapan” celoteh Kardi dengan rokok Dji Sam Soe di celah kedua jarinya.

Kamu jangan suka takabur toh, Kar. Nanti kalau ketemu beneran kamu lari” sahut Ferdi.

Lhooo.....beneran Fer, aku kepingin sekali tanya nomor kode kepada kuntilanak, mumpung teman kita si Mulya ini ahli mengusir setan hahahaaaa.....” celetuk Kardi sambil mencolek punggung Mulya yang sejak tadi serius masih sibuk mengeluarkan bekal makanan dari dalam ranselnya.

Wah..... kalau si Mulya sih tidak diragukan lagi, Kar, Raja Setan juga sujud dikakinya”. Gelak canda tawa mereka berdua tidak terlalu digubris oleh Mulya yang hanya senyam senyum.


Selepas mendirikan tenda dan menumpuk kayu bakar untuk api unggun, tiga sekawan ini menyantap makan malam sambil terus melontarkan banyolan banyolannya.


Saat itu sekitar jam 6:30 sore. Kabut kian menggenangi pijak kaki mereka dan mengalir masuk ke dalam tenda. Api unggun pun dibakar. Tiba tiba sekujur tubuh Ferdi mengeluarkan keringat dingin dan demam.


Wah.....koq’ sakit demam dadakan begini Fer ?”
Mul, kamu dengan Ferdi tunggu di sini dulu, aku mau cari desa terdekat yang dapat kita singgah untuk beristirahat. Sepertinya Ferdy kurang sehat untuk tidur di dalam tenda malam ini”.


Oh.....iya, jangan lupa bawa kompasmu” sahut Mulya kepada Kardi yang beranjak bangun berdiri memegang senter sambil memasukan kompas ke dalam saku celananya.


Hanya 15 menit kemudian Kardi kembali ke kemah.

Beruntung sekali kita, hanya beberapa puluh meter dari sini ada perkampungan penduduk. Ayo bawa Ferdi ke sana, kemahnya ini biar saja besok pagi kita bereskan” ajak Kardi.


Mereka pun berangkat menuju perkampungan kecil di tengah hutan.

Tepat di samping mereka berdiri terdapat sebuah batu pembatas desa tertulis “Desa Mawar – Gunung Kidul” dan dari situ mereka dapat melihat ada beberapa orang dewasa sedang ngobrol dan menggendong bayi di depan dusun, juga anak anak sedang bermain di halaman.


Assalamualaikum.......mohon maaf, pak, kami sedang berkemah tapi teman kami ini tiba tiba demam. Apakah bapak berkenan mengizinkan kami untuk bermalam di sini ?” tanya Kardi kepada salah satu bapak bercelana dan berbaju hitam.


Dari jumlah rumah pondok kayu yang ada di lokasi tersebut, dapat diperkirakan jumlah warga desa itu tidak lebih dari 20 orang.

Beberapa warga desa menghampiri dan memperhatikan ketiga tamu asing ini, begitupun anak anak yang langsung berhenti bermain kemudian menghampiri mereka bertiga. Terlihat jelas dari tatapan mata curiga warga desa tersebut dan kemudian saling memandang tanpa memberikan jawaban kepada Kardi.


Sekali lagi Kardi bertanya “Apakah kami bisa bermalam di sini untuk semalam, Pak ?”, namun lagi lagi mereka tidak memberikan jawaban, hanya tatapan aneh kepada ketiga anak muda asing ini.


Kar, sebaiknya kita balik ke tenda saja. Sepertinya mereka keberatan dan aku merasa ada yang aneh di sini” bisik Mulya kepada Kardi.


Belum lagi mereka beranjak pergi, “mari mari silahkan bermalam di sini, nak, kasihan temanmu itu lagipula malam ini seperti mau hujan” seorang nenek berkebaya rapih menyambut mereka dengan senyum ramahnya. Warga desa memanggilnya sebagai Nenek Ijah atau nek Ijah.


Ketiga sahabat ini memasuki gubuk si nenek yang terbuat dari kayu. Di dalam gubuk itu terdapat satu kamar tidur dengan ranjang kecil dan ruangan tamu yang menjadi satu dengan ruang makan juga dapur. Di sudut ruang tamu terdapat sebuah dipan bambu yang sebelahnya juga ada tumpukan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan badan.


Bergegas si nenek memasak air dan mengambil kopi bubuk untuk ketiga tamu asingnya ini.

Kalian bertiga bisa istirahat di kamar, nak” ujar nek Ijah
tidak apa apa, nek, biar kami yang tidur di ruang tamu, nek” jawab Kardi
Jangan, nak. Tidak usah malu malu, nenek sudah bersihkan ranjangnya untuk kalian” jawab si nenek berusia sekitar 70 tahun ini.


Kardi dan Mulya kemudian merebahkan tubuh Ferdi di atas ranjang kayu. Tubuh Ferdi sangat lemah dan tidak memiliki tenaga sama sekali. Suhu badannya juga sangat panas.


Nek Ijah baru saja selesai memasak ramuan penurun panas untuk diberikan kepada Ferdi. Suara pintu diketuk dan saat pintu dibuka tampak beberapa warga desa membawa nampan bambu yang di atasnya tersedia beberapa jenis makanan. Tanpa bicara sepatah katapun nek Ijah meraihnya kemudian menyuguhkannya kepada ketiga tamu asingnya itu. Di meja kini terhidang singkong rebus, ubi rebus, sesisir pisang mas, juga bubuk kopi dan seteko air panas.


Semua penduduk desa ini baik baik walaupun mereka terlihat malu untuk berbicara dengan pendatang asing, tetapi hati mereka sungguh baik, nak” kata nek Ijah sambil menyodorkan secangkir minuman kepada Kardi. “Ramuan ini sangat baik untuk menurunkan panas. Mudah mudahan temanmu sudah sembuh besok pagi”.


Wah...... kami sungguh berterima kasih atas kebaikan nenek dan mohon maaf kami sudah merepotkan nenek dan penduduk desa sini” ujar Kardi yang kemudian masuk ke kamar untuk memberikan minuman yang diramu nek Ijah kepada Ferdi.


Udara semakin dingin ditambah kabut yang kian menebal. Kala itu sekitar jam 1 malam, nek Ijah sudah tertelap tidur di ruang tamu. Suasana desa sangat sepi, hanya suara jangkrik dan dengkur Ferdi yang terdengar. Kardi dan Mulya masih belum dapat memejamkan mata.

Tiba tiba, gubraaakkkk...... seseorang mendobrak pintu dusun dan berdiri seorang pria bertelanjang dada, berkulit sawo matang dengan golok berkilau di tangan. Diiringi beberapa pria kekar lainnya yang turut masuk ke ruangan tamu.


Mana anak anak muda itu?” bentak pria kekar yang berdada penuh bulu. “Malam ini juga mereka harus mati” tambahnya.


Seketika itu juga nek Ijah terbangun dan berusaha melakukan perlawanan namun hanya satu kali tampar tubuh rentanya ambruk ke lantai.

Dari celah selembar kain pemisah ruang kamar dengan ruang tamu, Kardi dan Mulya melihat wajah wajah bringas memandangi nek Ijah sambil berteriak dan membentak bentaknya.


Ferdi yang sedang tertidur lelap tersentak bangun. Mereka bertiga pun serempak bersembunyi di kolong ranjang kayu yang gelap pekat. Kebenaran lampu patromak di dalam kamar juga kehabisan minyak sehingga membuat seluruh ruang kamar gelap gulita.

Seorang pengacau menyingkapkan kain penutup kamar namun karena keadaan kamar gelap, diapun berpikir tidak ada orang di dalam kamar.


Kemudian para lelaki kekar itu menjambak rambut nek Ijah dan menyeretnya keluar dusun.

Nek Ijah menangis dan terus berteriak teriak “jangan keluar dari dusun.....jangan keluar dari dusun.....jangan keluar dari dusun.....”. Semua warga desa dewasa keluar rumah sambil menggenggam parang dan segala senjata tajam siap untuk bertarung.


Kira kira ada sekitar 30 orang pengacau yang kesemuanya bertubuh kekar berwajah ganas. Melalui lubang bilik dusun Kardi, Mulya dan Ferdi menyaksikan bagaimana warga desa gigih berkelahi dengan para pengacau tersebut.


Jerit tangis para wanita, anak anak dan bayi sangat memilukan terdengar jelas dari dalam dusun. Kejadian itu berlangsung kurang lebih satu jam. Lalu seketika desa kembali sepi. Tiada lagi jerit tangis, tiada lagi benturan senjata tajam, tiada suara mengerang dan tiada lagi teriakan nek Ijah.


Ketiga sahabat ini melihat tubuh nek Ijah sudah terkapar berlumur darah di tanah. Seumur hidup mereka, baru kali ini merasa benar benar takut. Wajah merekapun pucat pasi seperti tanpa darah mengalir.

Hingga suara azan subuh terdengar, mereka bertiga belum beranjak dari dalam kamar dengan tubuh masih gemetar dan jantung keras berdegup.


Malam itu sesuatu yang sangat mengerikan telah terjadi di Desa Mawar.

Bau anyir darah membanjiri seluruh tanah desa. Potongan kepala dan serpihan anggota tubuh berserakan tanpa terkecuali pria, wanita, anak anak dan bayi. Seluruh penduduk desa terbantai mati.


Sekitar jam 5 pagi langit masih gelap, Ferdi tidak lagi merasakan demam kemudian mereka sepakat untuk segera keluar dusun untuk meninggalkan desa dengan mengendap endap. Mereka juga terpaksa harus melangkahi beberapa mayat dan menginjak tanah yang masih tercecer darah para korban pembantaian.


Ketika mereka sedang berlari, mereka bertemu dengan sekelompok petani yang akan ke sawah. “pak tolong...... tolong kami pak...... tolong pak”.


Para petani pun berhenti dan segera menghampiri mereka.

ada apa nak ?” tanya salah satu petani.
di sana ada pembantaian, pak, di Desa Mawar terjadi pembantaian tadi malam, pak. Kami menyaksikan para perusuh membantai seluruh penduduk desa”. “Tolong panggil Polisi, pak…..tolong panggil Polisi, pak” dengan napas terengah engah dan gemetar suara Kardi dan Mulya saling bergantian.


tenang, nak, tenang. Nama saya Pak Sukijan dan saya Kepala Desa ini” kata petani tersebut. “mari kita lihat kondisi di sana” sambung Pak Sukijan sambil mengajak para petani lainnya untuk bersama sama pergi ke Desa Mawar yang letaknya kurang dari 2 Km itu.


Setiba di sana, masih berdiri tegak batu pembatas desa yang bertuliskan “Desa Mawar – Gunung Kidul”, namun mereka tidak melihat sama sekali adanya 1 dusunpun bahkan tidak ada mayat atau tetesan darah yang tercecer di tanah.

Yang tampak hanyalah belasan gundukan tanah kuburan dengan papan seadanya yang sudah usang, dan salah satunya tertulis nama Siti Saijah (nek Ijah).


Pak Sukijan menengok ke arah wajah ketiga pemuda ini yang sejak tadi tidak berkedip memandangi apa yang ada di hadapan mereka dengan mulut menganga.


Penduduk desa ini ramah ramah dan selalu melindungi para pejuang kemerdekaan” kata Pak Sukijan memulai ceritanya.

Namun suatu malam mereka semuanya tewas tak tersisa dibantai oleh para penghianat bangsa yang bekerja sama dengan tentara Jepang. Termasuk seorang janda bernama Siti Saijah berserta ketiga cucu laki lakinya yang menjadi korban”.

Sampai hari ini orang orang desa di sekitar sini masih terus menerka nerka kejadian apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kejamnya pembantaian malam itu”.

Mungkin apa yang kalian saksikan tadi malam itulah jawabannya” sambung Pak Sukijan sambil merangkul ketiga tamunya dan mengundang mereka untuk singgah di pendopo sawah.


Tamat.

Monday, December 8, 2014

TAWA IBLIS


kala mendung memagar langit
angin tetap menyapu...
walau bibir berucap pahit
nurani bersenandung syahdu
biarlah licin jalan terparut
amboi
kelok liuk cantik terajut

banyak duri di tangkai
tiada tergubris eloknya mawar
tinggi hati tak terlerai
masya Allah
tawa iblis serasa benar


Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

Monday, December 1, 2014

ISTIGHFAR


di kala mata terpejam
tangis membanjiri kerak bumi
peluh bernoda dosa
kelam jalan tercela
kotor diri najiz di hati
pasrah melantun zikir
di hamparan sajadah tobat merintih
berharap ampunan Ilahi



Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw

K U D E T A


rembulan merapat
melata diantara kabut
kelam melengking
menjarah dingin
mengendap
gelisah terjinjing

hasrat meronta
terpekak genderang pesta
rasa mendidih kian berbuih
tak sabar hati menjemput pagi
banjir darah
cahaya terbalut duka


Salam sejahtera dan sehat selalu,
Raymond Liauw