BAGIAN
I
Nama
lengkapku Nurhayati binti Maimunah Azwar dan mereka memanggilku
Nurhayati atau Nur yang berarti Cahaya. Ayah dari suku Jawa seorang
guru SMA sedangkan Ibuku berasal dari Sumatera Barat. Aku memiliki
dua kakak dan satu adik yang kesemuanya memiliki ketidakberuntungan
dalam kehidupan rumah tangganya.
Sebagai
seorang anak yang dapat cukup dikatakan taat kepada orang tua, aku
selalu membantu Ibu berdagang soto ayam keliling kampung selepas
pulang sekolah. Prestasiku sejak di sekolah dasar selalu menjadi
kebanggaan ayah dan ibu karena aku selalu memperoleh predikat juara
kelas dan pernah menyandang gelar sebagai pelajar teladan.
“yah,
setelah lulus SMA, Nur rencananya mau cari kerja saja biar bisa bantu
ayah dan ibu” kataku kepada ayah selepas makan malam.
“lhooo.....kenapa
tidak melanjutkan kuliah saja ? biar ayah dan ibu yang cari uang”
kata ayahku.
“ayah
dan ibu juga berharap kamu dapat tamat Sarjana dan dapat pekerjaan
bagus” tambahnya.
“pokoknya
kamu harus kuliah sampai tamat Sarjana” sahut ibuku.
Setelah
lulus SMA, aku ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Pikirku saat itu
“pantas saja banyak orang yang tidak mau balik ke kampung
halamannya bila sudah tinggal di Jakarta. Kota yang begitu padat,
megah dan penuh dengan hiburan apalagi mall mallnya”
Di
Jakarta aku tinggal di tempat kost bersama kakakku yang bekerja
sebagai karyawan toko. Kakakku juga yang membantuku untuk membayar
sebagian biaya kuliah, namun ternyata dia memiliki banyak hutang.
Ingin
rasanya aku kembali ke kampung daripada menjadi beban kakakku di
Jakarta, tetapi aku takut dan tidak mau membuat orang tuaku malu
kepada tetangga dan sahabat sahabatnya.
di
sebuah jalan sempit dan curam
anak
manjangan menari dan bertepuk tangan
belasan
pasang mata liar mengintai
siap
menerkam mencabik dan melumat
setiap
serat serat daging lunak
Sore
itu ketika aku sampai di rumah kontrakan kakakku sudah tiba dari
kerja dan seakan telah menungguku.
“tumben
sudah sampai di rumah, kakak sakit ?” tanyaku
“oh
tidak, aku terlalu banyak pikiran dan tidak masuk kerja hari ini”
jawab kakakku.
“apakah
ada yang bisa aku bantu, kak” tanyaku lagi sambil menghampirinya.
Kakakku
menoleh ke arahku sambil mengerutkan kening lalu mengangguk dan
merangkul pundakku.
“kakak
terlibat banyak hutang dari rentenir dan kakak mau minta tolong
kepadamu, Nur” kata kakakku dengan lirih
“kakak
tidak punya uang untuk bayar hutang kakak tapi mereka tertarik
kepadamu” sambung kakakku sebelum aku menanyakan pertolongan apa
yang diperlukan dariku.
Aku
masih belum paham sebenarnya apa yang diinginkan oleh kakakku dariku,
adik kandungnya ini.
Kakakku
menatapku sambil menggenggam tanganku dan berkata “dua diantara
mereka adalah pengusaha dan satunya lagi adalah pegawai pemerintah.
Mereka ingin kakak membayar hutang kakak dengan mencarikan gadis muda
dan polos dari daerah untuk menemani mereka hanya untuk beberapa jam
saja di kamar hotel”.
Jantungku
keras berdetak, darahku seakan berhenti mengalir dan butiran peluh
dingin membasahi keningku.
“Ya
Alloh, apakah aku tidak salah dengar ? apakah aku tidak bermimpi”
rintihku dalam hati.
Aku
tidak dapat berkata kata lalu masuk ke kamar dan hanya dapat
menangis. Kakakku yang selama ini baik dan kuhormati begitu tega
ingin menjualku kepada pria hidung belang. Haruskah kuturuti
permintaannya ? Apa yang harus kukatakan kepada orang tuaku bila aku
putus sekolah dan balik ke kampung ?
BAGIAN
II
Sepanjang
malam aku menangis dan tersungkur sembahyang tahajjud memohon
lindungan-Nya. Aku benar benar tidak tau apa yang harus kulakukan,
akalku seakan mati terkubur.
Keesokan
paginya, sebelum aku berangkat ke kampus kakakku menghampiriku.
“Nur,
apakah kamu sudah berpikir tadi malam dan akankah kamu membantuku ?”
tanya kakak kepadaku. “toh....suatu saat nanti kita semua para
wanita tidak lagi memiliki keperawanan” sambungnya.
Aku
terdiam sesaat dan menjawabnya “kalau itu maunya kakak, biarlah aku
rela untuk membantu kakak”. Tanpa terasa akupun meneteskan air mata
dan sungguh merasa begitu pedih.
Kakakku
tersenyum dan bilang akan menghubungi mereka para rentenir yang juga
para hidung belang untuk mengatur waktu pertemuannya denganku.
kabut
menjamah bumi
tiada
lagi cercah terang
bukan
lagi sebuah mimpi
terajut
benang benang uzur
menggiring
bayang ke bibir sumur
Hari
pertama, tugasku menemani seorang pria ramah paruh baya dengan rambut
yang sudah mulai memutih. Dia mengajaku ke daerah Blok M untuk makan
siang lalu kami menuju Ancol untuk istirahat siang. Dia banyak
bertanya mengenai kegiatanku dan latar belakangku. Sepanjang
perjalanan aku terus gemetar dan manahan tangisku. Aku hanya dapat
berdoa “Ya Alloh bantulah aku......Ya Alloh turunkanlah
Malaikat-Mu”.
Entah
apa yang terjadi, pria itu tiba tiba menghentikan mobilnya di Monas
dan memberiku amplop uang Rp500 ribu lalu menyuruhku pulang. “hati
hati di jalan dan salam untuk kakakmu” kata pria tersebut ketika
aku akan keluar dari mobil.
Setibanya
di rumah kakakku langsung mengambil amplop yang diberikan oleh pria
tadi kepadaku, lalu aku tersungkur di lantai kamar dan menangis
sekeras kerasnya. Allah telah menyertaiku dan menunjukan kuasa-Nya.
Hari
kedua, aku menemani seorang pria pegawai pemerintah yang masih kental
logat daerahnya. Begitupun dengan “teman baruku” ini yang juga
membatalkan niatnya, kemudian menurunkanku di jalan Fatmawati Blok M
dan memberiku uang Rp1 juta tanpa menjamah kulitku sedikitpun.
Lagi
lagi aku tersungkur di lantai kamar menangis sejadinya dan uang
pemberian pria kedua itupun diambil oleh kakakku.
Hari
ketiga, aku bersama seorang pria yang mungkin masih berusia 30-an.
Kami hanya membicarakan latar belakang dan masa kecil kami lalu
menjelang sore dia memberiku uang Rp500 ribu untuk pulang naik taxi.
Kakakku-pun
meminta uang yang diberikan oleh pria ini kepadaku.
Selama
tiga hari aku benar benar telah dilindungi Allah dari lumpur api yang
akan mengotoriku. Kakakku sama sekali tidak merasa bersalah, tapi
malah memuji mujiku pintar cari uang.
“wah...kamu
ternyata hebat juga cari uang, lebih hebat dariku” kata kakakku
kepadaku sambil tertawa terbahak.
Aku
tidak menjawabnya dan langsung pamit pergi kuliah dan kupikir itulah
akhir dari rasa takutku. Namun ternyata dugaanku salah.
Telah
beberapa bulan kakakku sengaja tidak bayar sewa kost rumah dan
membiarkan setiap pria boleh masuk ke kamarku bahkan ada beberapa
diantaranya hampir memperkosaku.
Aku
tak habis pikir dan benar benar tidak menyangka kehidupan kakakku di
Jakarta seperti itu. Kakak yang ketika tinggal di kampung rajin
sholat dan beribadah, kini sudah berubah total dan bukan lagi seperti
kakakku yang pernah ku kenal dulu. Aku tidak bisa lagi tinggal
bersamanya dan memutuskan untuk pindah tempat tinggal di dekat
kampus. Uang saku yang dikirimkan oleh ayahku kugunakan sehemat
mungkin dan dikala waktu senggang aku membuat kue kering lalu ku jual
kepada teman teman di kampus. Alhamdulillah, setelah 3 tahun aku
lulus D3 Akuntansi dan memperoleh pekerjaan.
Usiaku
telah memasuki 27 tahun tapi masih belum punya kekasih. Terkadang aku
takut sekali untuk memiliki rumah tangga apalagi setelah aku melihat
ada beberapa teman kantorku yang rumah tangganya berantakan.
Disamping itu aku juga masih belum ditemukan jodoh yang cocok.
Sedangkan kedua orangtuaku terus berulang kali menanyakanku kapan aku
akan punya pacar dan menikah.
BAGIAN
III
Terlalu
ringan kapal berlayar, terombang ambing gelombang terhempas karang.
Begitu mudahnya mengiris iris syair menjadi butiran melodi, namun
mendung tetap berbaring di pelupuk mata dengan penuh keluguan dan
ketidaktahuan.
Seperti
biasanya, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri di tahun 1997 aku
kembali ke kampung bersama teman teman baikku yang sudah mengenalku
sejak masih di SMA. Kami bergadang di malam Takbiran dan masak masak
bersama. Pandanganku malam itu tertuju kepada seorang pria pemalu
yang belum pernah kukenal tapi telah membuat darahku mengalir deras,
ternyata dia adalah anak dari sahabat ayahku ketika ayah masih muda.
Nama pemuda tersebut adalah Reza. Selama liburan Lebaran, Reza
mengajakku dan teman temanku keliling kota Medan.
Sejak
saat itu kami sering ngobrol dan beberapa
kali bertemu. Selama kurang lebih 2 tahun
kami berpacaran jarak jauh. Hanya bila ada kesempatan hari libur aku
kembali ke kampung atau Reza datang ke Jakarta menemuiku. Reza
tergolong seorang pria yang tidak
banyak bicara dan tidak
suka membicarakan latar belakang keluarganya. Dia juga tidak suka
bergaul dan tidak memiliki banyak teman. Hingga suatu saat Reza ingin
bertemu dengan kedua orang tuaku untuk meminangku.
“ayah
tidak mau kamu menikah dengannya karena ayah tau benar siapa orang
tua Reza dan keluarganya. Mereka bukanlah keluarga beribadah seperti
keluarga kita” bentak ayah kepadaku yang pertama kali dalam seumur
hidupku.
“tapi
aku menyukai dan mencintainya ayah, lagi pula sekarang usiaku sudah
29 tahun” sahutku.
Ayah
dan ibuku mulai bertengkar karena ibu membelaku, lalu akupun bilang
“kalau ayah tidak merestuiku menikah dengan Reza, biarlah aku tidak
menikah selamanya”.
Setelah
berhari hari kami tidak bicara, akhirnya dengan berat hati ayah
mengizinkan aku menikah dengan Reza. Aku merasa tidak salah
memilihnya sebagai suamiku walau ayahku tidak memberi restu.
Reza
adalah seorang suami pencemburu. Sejak kami menikah, Reza melarangku
untuk terlalu sering bergaul dengan teman temanku bahkan saudara dan
keluargaku.
Pada
beberapa bulan pertama pernikahan kami, Reza sungguh memberikan
kebahagiaan kepadaku. Dia benar benar memperhatikanku bahkan tidak
malu untuk memeluk dan menciumku di hadapan saudara dan sahabat
sahabatku, walaupun terkadang aku merasa perlakuannya itu terlalu
berlebihan, tetapi masih kuanggap wajar.
Ada
suatu hal yang sebenarnya aku malu untuk menceritakannya kepada
keluarga dan saudara saudaraku karena kuanggap masalah ini adalah
masalah hubungan pribadiku dengan suamiku tetapi semakin lama hal ini
sangat membebaniku.
Keanehan
keanehan prilaku Reza kian lama kian tampak terutama setelah anak
pertama kami lahir. Pada suatu malam, Rini anak kami yang saat itu
masih bayi sedang kurang sehat dan menangis, ketika itu kami akan
melakukan hubungan intim.
“Rez,
aku mau menimang Rini dulu yah nanti kita lanjutkan” mintaku kepada
Reza
“tidak
usah biar saja dia nangis” sahutnya, sambil
terus rakus melumatku,
tetapi tangis Rini semakin keras membuatku semakin tidak tega.
“Rez,
sebentar dulu yah aku mau kasih Rini minum obat dulu” pintaku lagi
Tiba
tiba Reza menampari wajahku beberapa kali dan menjambak rambutku
sambil berteriak “makan tuh anak, pergi sana perempuan sialan”,
kemudian menendangku hingga aku tersungkur ke lantai.
Sejak
kejadian malam itu perlakuan Reza terhadapku semakin brutal dan
semakin tidak terkontrol. Dia tidak peduli apakah aku sedang sakit
atau bahkan ketika aku sedang menstruasipun, aku juga tetap harus
melayaninya melalui “jalur lain” (anal sex).
Begitu
kutolak permintaannya, wajah dan tubuhku akan langsung dijadikannya
sebagai “punching bag” tanpa ampun. Setelah dia puas memukuliku
dan keinginannya terpenuhi, dia akan tertidur lelap, sedangkan aku
dibiarkannya menangis sambil membersihkan darah dari bibir, hidung
dan bagian wajahku lainnya.
hati
terbercak kecewa
tak
sanggup mengukir sastra
jemaripun
gemetar tak mampu menggenggam pena
jiwa
terkurung di lembah duka
BAGIAN
IV
Reza
memperlakukanku seperti seorang budak untuk melampiaskan napsu
birahinya, namun prilakunya di hadapan orang lain sangatlah bertolak
belakang seakan terlihat dia adalah suami yang penuh kasih sayang
terhadap istrinya.
Para
tetangga kami tidak mengetahui derita yang kumiliki. Mereka melihatku
layaknya keluarga pasutri bahagia yang patut dicontoh oleh pasangan
muda. Yang mereka tau bahwa aku selalu tersenyum. Beberapa diantara
mereka pernah datang kepada kami untuk meminta nasihat masalah
keluarga mereka. Layaknya seorang Imam, suamikupun memberi nasihat
kepada mereka yang memiliki masalah dalam rumah tangganya.
Di
suatu pesta pernikahan aku bertemu dengan temanku sewaktu kuliah di
Jakarta, namanya Putri dan Anton suaminya. Seperti biasanya Reza
menggandengku dengan lembut dan penuh mesra di hadapan banyak orang.
“hai.....Nurhayati,
apa kabar ? sudah lama tidak ketemu yah. Oh ya......kenalkan ini
Anton suamiku” sapa Putri kepadaku dan Antonpun mengulurkan
tangannya untuk menyalamiku dan Reza.
“Putri......kabarku
baik baik, ini suamiku Reza” jawabku.
“waaahh......Nur
sejak tadi kuperhatikan, ternyata kamu masih cantik seperti dulu dan
kalian mesra sekali, kita jadi ngiri nih” canda Putri kepadaku.
“yah......beginilah
resiko punya istri cantik harus dijaga betul betul biar tidak pindah
ke lain hati” sahut Reza tersenyum sambil memeluk pinggangku dan
mencium pipiku dihadapan mereka.
Kemudian
kamipun berempat
ngobrol sambil menikmati kemeriahan pesta.
Sepanjang
perjalanan pulang dari pesta, Reza tidak bicara sedikitpun kepadaku.
Kupikir dia hanya cape dan ngantuk. Namun, ketika kami di kamar untuk
mengganti pakaian dengan gaun tidur, Reza memulai pembicaraan.
“berapa
lama kamu sudah kenal si Putri ?” tanyanya kepadaku sinis
“dia
teman kuliahku dulu waktu di Jakarta dan kami sering belajar bersama”
jawabku sambil ku sisir rambutku.
“mulai
hari ini kamu tidak boleh lagi bergaul dengannya, mengerti ?! aku
tidak suka dengan wanita yang banyak bicara seperti pelacur”
sahutnya.
Aku
tersentak karena benar benar tidak tau
apa yang ada di pikiran Reza, lalu aku
mencoba untuk membuatnya mengerti.
“apakah
ada yang salah dengannya, Rez ? dia anak baik baik dan akupun
mengenal betul mereka dari keluarga soleh dan solehah” sanggahku.
“pokoknya
aku tidak mau kamu bergaul dengannya. Titik” bentak Reza
“tapi
kenapa, Rez ?” tanyaku lagi penasaran.
“tidak
perlu banyak tanya kau, Perempuan Sundal ! pokoknya
aku tidak mau kamu bergaul dengannya !” bentak Reza sambil
menjambak rambutku lalu mendekatkan wajahku ke
wajahnya dengan mata melotot, kemudian
membenturkan kepalaku ke tembok kamar.
Akupun langsung meng-iya-kannya untuk menghindari tindakannya yang
lebih brutal terhadapku.
Hingga
suatu hari aku sudah tidak tahan lagi dan di hadapan kedua orang
tuaku dan kedua orang tuanya berserta sanak family, aku mengadukan
semua perbuatan Reza terhadapku. Ayahku yang memang sejak semula
tidak merestui pernikahan kami marah besar dan menyuruh kami untuk
bercerai dengan hukum adat. Di situ Reza menangis bersujud di hadapan
ayah dan ibuku lalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi, juga
berjanji akan memperlakukanku sebagai istri dengan sebaik baiknya.
Awalnya
ayahku tidak mau menerima tetapi karena kupikir Reza akan berubah,
maka kubujuk ayahku untuk memaafkannya dan aku juga memaafkannya,
akhirnya ayahku mengalah dan memaafkannya juga.
Hanya
berselang beberapa bulan kemudian Reza kembali menyakitiku. Kali ini
ayahku benar benar merasa terpukul dan sangat sedih hingga beliau
meninggal dunia.
Semakin
sering Reza tiba di rumah ketika subuh pagi cuma beberapa jam
istirahat lalu berangkat ke kantor lagi. Aku juga sering mendengar
kabar dari beberapa teman yang memergoki suamiku sering pergi bersama
wanita yang berbeda beda tetapi aku tidak pernah mengusiknya karena
aku tau dia akan marah dan mulai memukuliku lagi.
Ingin
ku tembus semak berdiri melintasi rimbunnya belantara. Namun terlalu
tebal kabut menerawang dan menahan pijakku untuk menyentuh bayang.
Bilur bilur yang kuterima darinya masih membekas. Tiap tetesan darah
yang keluar dari setiap lubang poriku sebagai tanda perjuanganku
mempertahankan keutuhan rumah tangga.
BAGIAN
V
Bertahun
telah bahtera rumah tangga kami berlayar
dan aku semakin
yakin bahwa suamiku memiliki kelainan
kejiwaan
terutama dalam berhubungan sex.
Dia melakukannya dimana saja tanpa peduli waktu dan
dengan cara apapun. Ketika
Reza marah kepadaku, anak anak kami
juga akan menjadi tumpuan kemarahannya dan
sering kena pukulnya.
Aku
tidak pernah punya nyali untuk melaporkan perbuatannya ke Polisi
karena Reza telah mengancam akan membunuhku berserta anak anakku, dan
akupun tau betul sifatnya yang penuh dengan kebengisan dan kejam. Aku
hanya dapat mengeluh mengenai semua ini kepada ibu tetapi ibuku
melarangku untuk menceritakannya kepada siapapun agar Reza tidak
berbuat nekad seperti apa yang diancamkannya kepadaku, disamping
untuk menutup aib keluarga. Ibu menyarankanku selalu sembahyang
tahajjut agar suamiku menjadi baik.
Beberapa
kali telah kusarankan suamiku untuk konsultasi dengan psychiater
tetapi hanya tamparan yang melayang ke wajah dan tubuhku. Begitupun
konsultasinya dengan beberapa tokoh agama seperti Pak Ustadz / Pak
Kyai semuanya gagal dan berbuntut dengan perdebatan bahkan hampir
terjadi pemukulan yang dilakukan oleh Reza kepada mereka. Reza merasa
lebih pintar daripada mereka dan tidak suka orang lain ikut campur
dalam masalah keluarga kami.
Suatu
hari suamiku kembali dari luar kota bersama kedua orang temannya.
Mereka telah bersahabat sejak lama dan sepengetahuanku mereka adalah
orang orang baik. Ketika suamiku sedang di kamar mandi, aku membuka
kamera yang dibawanya untuk melihat lihat.
“astagafirullahalazim.....gila...gila....ya
Alloh mimpikah aku ini” teriakku. Bukan main kagetnya begitu
kulihat isi
rekaman di kamera. Mereka bertiga sedang berpesta sex di sebuah
kamar, hanya mereka bertiga para pria, ternyata suamiku juga menyukai
sesama jenis.
Tiba
tiba Reza meraih kameranya dari tanganku dan membentakku “itu
urusanku dengan teman temanku dan kamu tidak perlu ikut campur,
kurang ajar, bedebah. Benar benar istri sialan kau”.
“maaf
Rez, apa aku tidak salah lihat, kamu perlu ke dokter Rez” saranku
dalam keadaan antara percaya dan tidak percaya.
Sekonyong
dia meraih segala yang ada di meja termasuk piring bahkan piala
penghargaan milik anakku untuk dihujamkan ke kepala, wajah dan
tubuhku. Berkali kali aku dihantam tinjunya dan pikirku itulah akhir
dari hidupku. Aku tidak sadarkan diri hingga saat mataku terbuka aku
sudah berada di rumah sakit ruang gawat darurat dengan wajah dan
tubuh terbalut luka, dan jiwa sekarat. Duduk di sebelahku hanya ibuku
dan tetanggaku yang membawaku ke rumah sakit.
tatapan
jauh menerawang
mencabik
cabik kekosongan angan
bertangis
duka
air
mata mendanau
tiada
angin yang peduli
apalagi
singgah menemani kepedihan hati
Kini,
setelah belasan tahun kami menikah, aku seakan telah terbiasa
menjalani penderitaan ini dan selalu pasrah setiap saat untuk
menerima perlakuan brutal dari suamiku.
Kami
dikaruniai dua orang anak yang cerdas. Anak kami yang pertama kelas 5
SD, selama dua tahun terakhir memperoleh beasiswa karena prestasinya
di sekolah. Aku telah mengirimnya ke boarding school jauh dari kami
agar dia dapat bertumbuh layaknya anak anak normal jauh dari
kekerasan. Aku juga telah merencanakan akan mengirim anakku yang
kedua ke sekolah tersebut.
Suatu
hal yang pasti adalah sampai hari ini aku masih mencintai suamiku dan
kedua anak kami. Aku sungguh mencintai keluargaku.
Di
kala senja kembali datang sorot mata jauh memandang. Lembaran sutra
kian lembut dan kian kokoh menyelinapi kisi kisi cakrawala. Sambil
menantikan azan Magrib berkumandang, kutaburkan harapan dan
kepasrahan hanya kepada Sang Khalik di atas sana.
Ya
Alloh Ya Rabbi, lindungilah hambamu dan anak anak hamba yang hina
ini. Jauhkanlah kami dari kekejian dan kejahatan, Ya Alloh. Biarlah
Kau bukakan mata hati suami hamba agar segera sadar dan kembali ke
jalan-Mu.
Amin
Ya Rabbal Alamin.
Tamat.