Jauh
di dalam hutan, sekelompok orang terengah engah. Tiga orang dewasa,
dua remaja dan satu bayi. Wajah wajah mereka terlihat pucat pasi
penuh ketakutan berharap memperoleh perlindungan.
“Kalian
boleh melanjutkan biarlah aku di sini. Aku sudah tidak kuat lagi
untuk terus berlari” ujar Suminah meringis kesakitan.
“Ayo
mbakyu biar ku gendong. Kamu pasti kuat dan kami tidak akan
meninggalkanmu sendiri di sini” sahut Karso.“dik Karso, aku benar benar sudah tidak sanggup lagi. Larilah bersama bayi kalian dan aku titipkan kedua anakku ini kepada kalian” lirih Suminah.
Bersamaan
dengan itu, kedua anak remajanya berlari ke arahnya dan memeluknya
“Ibu jangan berpisah dengan kami. Ayah sudah tiada dan kami tidak
ingin kehilangan ibu juga”.
Tiada
terbendung tangis pilu mereka sambil berpelukan. Namun, tidak ada
lagi yang dapat mereka perbuat selain meninggalkan Suminah terkulai
lemah menghembuskan napas terakhirnya dengan darah yang terus
mengucur dari punggung dan lambungnya.
Tiga bulan sebelum semuanya itu terjadi.
Di sebuah ruang, dua orang sedang membicarakan suatu hal. Yang satu berkulit sawo matang lengkap dengan pakaian angkatan daratnya. Sedangkan satunya lagi berkulit putih berambut pirang. Pembicaraan empat mata ini sepertinya serius sekali.
“Ketika beliau berkunjung ke Washington, boss saya sudah berusaha membujuknya untuk bekerja sama namun sepertinya beliau sangat keras kepala dan arogan. Kini beliau malah merangkul si beruang bersama tirai bambu” ucap si pirang dengan ekspresi wajah penuh kejengkelan.
“Kami
juga tau bahwa negara anda belum lama merdeka tapi kami tidak ingin
paham komunisme mencengkram negeri ini” tambah si pirang yang juga
merupakan seorang diplomat yang diutus oleh petinggi Washington.
Kolonel AD tersebut menarik napas dalam dalam lalu dengan senyuman khasnya dia berkata “Kharisma beliau begitu besar sehingga seluruh rakyat di negeri ini menganggap beliau lebih dari seorang pemimpin. Begitupun dengan para Jenderal di negeri ini sangat loyal terhadapnya. Saya harap Washington dapat lebih bersabar”.
Dahi si pirang berkerut kemudian memanggut manggutkan kepalanya “Kami yakin anda dapat melakukannya dan kami juga akan meyakinkan para wartawan asing untuk berpihak kepada anda”.
Sementara itu, di sebuah desa kecil dimana masyarakatnya adalah para keluarga petani miskin yang hanya memiliki sepetak atau dua petak sawah dengan rumah berbilik bambu berlantai tanah. Keceriaan yang tampak pada para keluarga petani tersebut menunjukan suka cita dengan apa yang mereka miliki.
Pasangan suami istri Hasan dan Suminah memiliki dua anak lelaki Agus berusia 12 tahun dan Bejo adiknya yang masih berusia 10 tahun. Keluarga ini sangat soleh dan taat menjalankan perintah agama.
Mereka
memiliki tetangga, pasangan Karso dan Suryati yang baru saja
dikarunia seorang bayi perempuan yang diberi nama Suci.
“Mas Hasan, apakah tadi siang ada orang yang datang menawarkan bibit ikan lele dengan harga murah ?” tanya Karso sambil menikmati secangkir kopi.
“Oh....
gitu yah, Mas” Karso mengangguk anggukan kepalanya penuh keraguan.
Seminggu kemudian, sekelompok orang berwajah garang mendatangi Hasan yang baru saja selesai makan siang bersama isti dan kedua anaknya.
“Heiii.....
kamu Hasan anggota partai arit yah ?!!” bentak seorang bercelana
hitam cingkrang.
Oleh
karena tidak mengerti apa yang ditanyakan, Hasan menjawabnya dengan
gugup “Ampun pak.... apa ? Partai apa, pak ? Aku tidak tau apa apa
tentang partai, pak”. “Kamu yang membeli bibit lele minggu lalu itu kan ?” bentaknya lagi
“I....i...iya bet...bet....betul aku beli bibit lele murah minggu lalu ta....ta.....tapi aku tidak tau partai, pak” jawab Hasan semakin gugup.
Tetapi,
orang orang tersebut semakin beringas dan salah seorang diantaranya
mengayunkan parang tepat menghantam tempurung kepala Hasan yang
langsung ambruk bermandi darah, disaksikan oleh mata kepala istri dan
anak anaknya.
Langsung saja Suminah bersama Agus dan Bejo berteriak teriak histeris, sedangkan orang orang ganas tersebut sudah bersiap akan membantai mereka.
Kegaduhan yang terjadi membuat Karso dan Suryati yang sedang menyusui bayinya keluar rumah. Karso yang dikenal banyak orang karena memiliki keahlian bela diri itu menghajar orang orang ganas tersebut. Dari tujuh orang enam diantaranya terkapar tak berkutik, sedangkan satunya lagi berhasil melarikan diri.
Para tetanggapun segera berdatangan ingin melihat apa yang telah terjadi pada kedua keluarga ini.
“Lebih baik kalian secepatnya pergi dari sini sebelum mereka datang kembali” ujar Pak Zainal yang berada di antara kerumunan.
“Kemarin
juga terjadi hal serupa di desa seberang hanya gara gara membeli
bibit lele dari orang yang sama dari partai arit. Jangan jangan
mereka juga akan menghabisi orang orang di desa kita yang minggu lalu
membeli bibit lele murah” sambung Pak Zainal.
“Iya
betul. Aku juga kemarin dengar berita katanya mereka juga menculik
para Jenderal” sahut seorang warga.
Tiba tiba seorang anak berlari menghampiri kerumunan sambil teriak teriak “Pak.... mereka datang bawa bedil.... mereka datang bawa bedil..... Pak.... mereka datang bawa bedil....” kata kata itu diulang terus menerus.
Kontan saja warga berhamburan menyelamatkan diri, tanpa terkecuali Suminah bersama kedua anaknya, juga Karso dan Suryati dengan bayinya.
Sekelompok
orang bersenjata seperti orang kesurupan membabi buta menembaki para
warga desa, sambil berteriak teriak “bantai mereka......... bantai
orang orang partai arit..... bantai mereka..........”.
Malang
bagi Suminah sebuah peluru menembus punggung dan sebuah peluru
lainnya menyerempet lambung kirinya.
Demikianlah awal pelarian kedua keluarga tersebut.
Bermandi air hujan dan makan minum seadanya. Mereka sendiri tidak tau apa dosa mereka hingga mereka diburu seperti binatang. Beberapa kali dalam pelariannya mereka menemukan desa, tetapi mereka selalu berbalik arah menjauhi desa desa tersebut.
Entah
berapa tahun lamanya mereka berlima hidup di tengah hutan seolah
terputus dari dunia luar sambil mencari waktu yang tepat untuk
kembali ke lingkungan masyarakat.
Pembantaian terhadap orang orang desa yang polos dan lugu terus berlangsung. Orang orang bersenjata mengadili mereka dengan cara yang tidak jelas. Bangkai manusia bergelimpangan di sungai, di rawa, di kebun, maupun di sawah tanpa proses pengadilan bersalah atau tidak. Puluhan ribu nyawa menjadi korban kekejaman dunia politik.
Teriakan
mereka terlalu lemah untuk didengar. Kulit mereka terlalu tipis untuk
menahan timah panas dan tajamnya parang. Rentetan tembakan terdengar
siang malam tanpa peduli suara azan.
Kebiadaban
bukan lagi celoteh burung di pagi hari, tetapi sudah melanda seluruh
negeri. Dimanakah Tuhan ?? Apakah DIA akan menurunkan bantuan ??
Tak
terdengar jawaban. Sedangkan genangan darah dan tangis pilu terdengar
hingga ke ujung dunia.“Saya tidak dapat memberikan apa apa atas jasa negara anda yang telah membantu saya menjadi pemimpin negeri. Namun, satu hal yang pasti bangsa ini membutuhkan negara anda untuk mengelola bumi kami dan anda boleh memulainya dari ujung timur negeri ini” ujar seorang Kolonel AD kepada seorang berambut pirang yang sebelumnya pernah saling bertemu.
“Tuan Kolonel, bolehkah saya tau apa sebenarnya yang terjadi di negara anda dua tahun lalu ? tanya si pirang perlahan dengan sangat hati hati.
Sang Kolonel memalingkan wajahnya menatap hamparan padi menguning di hadapannya, lalu berkata “Layaknya sebuah perlombaan panjat pinang. Tubuh kita perlu dilumuri dengan debu kotor untuk mencapai puncak dan membersihkan semuanya”.
Tanpa terasa, lima puluh tahun kejadian brutal dan barbar tersebut telah berlalu.
Selepas menunaikan sholat magrib, dua orang kakak beradik yang sangat soleh bersama istri dan anak anak mereka mengunjungi sebuah keluarga untuk makan malam bersama.
“Pak de dan Bu de bangga dengan kalian berdua. Pak de juga yakin kedua orang tua kalian di alam sana bangga sekali dengan kalian” ujar seorang kakek yang ternyata adalah Pak Karso yang usianya kini sudah mendekati kepala delapan, duduk di sebelahnya istri tercinta bu Suryati dan putri tunggalnya, Suci yang kini juga telah memiliki dua orang anak.
“Ketika masih di desa dulu, Pak de dan Bu de mu ini satu satunya keluarga Kristiani. Setiap hari Natal, hanya keluarga kalianlah yang mengunjungi kami” sambung Pak Karso.
“Hingga
kini kalian masih tetap mengunjungi kami” suara serak Pak Karso
mulai terdengar terputus putus menahan linangan air matanya. Demikian
pula dengan bu Suryati yang terlihat kian renta menangis dan memeluki
mereka satu persatu sejak mereka datang tadi.
“Pak de Karso dan bu de Suryati sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri, juga dik Suci sudah seperti adik kandung kami” ucap Agus.
“Kami
tidak pernah lupa saat saat indah di desa, dan hari Natal adalah hari
yang selalu kami nantikan untuk berkumpul bersama” sahut Bejo yang
tak tahan lagi menitikan air matanya.
Agus dan Bejo menghampiri dan memeluk pak Karso dan bu Suryati “Selamat Natal Pak de Bu de, Semoga kasih Yesus Kristus selalu menyertai kita semua”.
Malam itu begitu cerah. Kemerlap bintang menerangi bumi menyambut lahirnya Sang Juru Selamat di kota Bethlehem.
Kita semua hanyalah pengembara. Melintasi jalan berdebu, mendaki bukit kerikil batu. Kidung kidung-Nya begitu sejuk lembut menerangi jalan setapak, layaknya lentera api yang tak pernah pudar membimbing kita untuk menjadi pemenang.
Salam sejahtera dan sehat selalu.
Raymond Liauw.