Belakangan
ini, setiap kali membuka FB, saya selalu disuguhi DENGAN berita heboh
“Papa Minta Saham”. Berbagai tanggapan yang bisa dikatakan
semuanya menuntut Setya Novanto untuk mundur dari jabatannya sebagai
Ketua DPR RI, juga meminta pemerintah untuk menindak lanjuti kasus
ini bahkan hingga ke ranah hukum.
Pada awalnya saya berpikir kasus korupsi di Indonesia sudah sangat lazim terutama dilakukan oleh pejabat negara yang memiliki kewewenangan sehingga merasa dirinya kebal hukum.
Namun,
setelah saya perhatikan kasus ini unik dan bukan sekedar korupsi
biasa karena menyangkut salah satu perusahaan tambang terbesar di
dunia.
Ketika sebuah negara baru merdeka atau ingin bangkit dari kehancur leburan akibat perang, negara tersebut membutuhkan banyak dana untuk melakukan pembangunan.
Sudah
bukan rahasia umum lagi bahwa Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan
selalu mengincar dan menawarkan bantuan dengan melakukan investasi
asing kepada negara tersebut.
Selepas
Indonesia merdeka, AS mengundang Presiden pertama RI, Ir. Sukarno
untuk melakukan kunjungan ke negara Paman Sam tersebut bertemu dengan
Presiden John F Kennedy. Entah mungkin “kesukaan” Bung Karno
telah banyak diketahui orang maka ketika berkunjung ke AS, Bung Karno
juga dipertemukan dengan bintang film Hollywood yang saat itu
terkenal karena kecantikannya, Marilyn Monroe.
Saya
yakin saat itu AS ingin menggandeng negara baru Indonesia sekaligus
dijadikan sekutunya. Dengan demikian AS dapat memanfaatkan posisi
strategis Indonesia untuk dibangun pangkalan perang sekaligus menjadi
pusat kantor CIA di Asia Tenggara.
Dalam kenyataannya, Bung Karno bukanlah seorang Pria yang dapat disetir apalagi dijadikan 'boneka' oleh siapapun layaknya mantan Presiden Philllipina – Ferdinan Marcos.
Sifatnya
yang keras pantang dijajah, pantang diatur dan pantang didikte oleh
asing, membuat Bung Karno memutuskan untuk keluar dari PBB.
Sebaliknya, beliau justru mempererat hubungan Indonesia, China dan
Uni Soviet (saat itu), dimana akan digalang sebuah kekuatan baru,
yaitu Jakarta - Beijing - Moscow.
Washington
kalang kabut sehingga dengan keterlibatan CIA terjadilah drama yang
sangat memilukan. Sebuah drama yang mencoreng sejarah bangsa
Indonesia, G30S PKI dengan pemeran utama Bapak Suharto.
Bagi saya sejarah Indonesia sangatlah elok untuk dinikmati apalagi bila ada sutradara film sekelas Steven Spielberg mampu menampilkannya melalui layar lebar. Kalau sutradaranya sekelas Raam Punjabi, lebih baik jangan sebab durasi film 3 jam bisa molor menjadi 300 jam.
Setelah
terjadi pembantaian terhadap 7 Jenderal, Indonesia membuka lembaran
sejarah baru yang dipimpin oleh seorang Jenderal yang terkenal sangat
ramah, namun di balik senyumnya terdapat suatu sifat kepemimpinan
yang tidak dapat disentuh oleh rakyat. Mungkin type pemimpin inilah
yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia saat itu.
Apapun
yang terjadi dan telah terjadi pada garis tangannya, Suharto menjadi
Presiden RI melengserkan Bung Karno pada bulan Maret tahun 1967.
Sangatlah
tidak etis bila seseorang yang telah dibantu tidak menghiraukan pihak
yang telah membantu, apalagi telah dibantu untuk menjadi orang nomor
satu di sebuah negara.
Begitupun
halnya dengan Suharto yang juga ingin “membalas jasa” pemerintah
AS, maka pada tahun yang sama beliau menjadi Presiden RI kedua,
dibuatlah kesepakatan kerjasama antara AS dan Indonesia dalam bentuk
penanaman modal asing PT FREEPORT INDONESIA (PTFI), sebuah perusahaan
tambang raksasa yang berpusat di Amerika Serikat (AS). Lokasi
penambangan dilakukan di Irian jaya (kini Papua).
Berpuluh
tahun PTFI telah mengeruk jutaan ton emas, hasil bumi Ibu Pertiwi
dibawa terbang. Yang sangat mengharukan adalah hingga hari ini rakyat
Papua masih belum banyak menikmati hasilnya. Ratusan dari mereka
terutama yang hidup di pedalaman Papua masih mengenakan cawat koteka
layaknya manusia purba walau hidup di zaman modern canggih ini.
Ternyata,
telah terjadi “kebocoran” yang bukan hanya setetes atau dua
tetes, melainkan layaknya sungai yang airnya deras mengalir
menelusuri ranting ranting untuk memenuhi kantong para pejabat baik
daerah maupun pejabat di pemerintah pusat.
Sejak Sang Jenderal Suharto tumbang dari pucuk pimpinan tahun 1998, Indonesia sudah beberapa kali melaksanakan Pemilu dengan pergantian Presiden. Belum ada seorang Presiden-pun yang mampu membongkar kokohnya cengkraman Mafia hingga akhirnya Indonesia memiliki seorang Presiden yang pada awalnya diragukan kemampuan memimpinnya. Bukan hanya karena tubuhnya yang kurus tetapi juga gaya bicaranya yang gemulai dikhawatirkan akan menjadi boneka partai politik pendukung.
Apa yang dikhawatirkan oleh rakyat Indonesia ternyata salah total. Dengan tetap melestarikan budaya nenek moyang, sosok Jokowi yang lemah lembut, sopan dan beriman bukanlah sosok yang mudah untuk dijadikan sebuah boneka apalagi diatur dan didikte oleh bangsa asing.
PTFI yang selama puluhan tahun tidur di ranjang bulu angsa di ruang sejuk ber-AC, berpesta pora bersama para pejabat koruptor peminum “darah” rakyat Indonesia, kini kalang kabut karena kontraknya akan berakhir beberapa tahun ke depan dan belum ada tanda tanda dari pemerintahan Jokowi – JK untuk melakukan perpanjangan. Bahkan sebaliknya, pemerintah Indonesia berniat akan mengambil alih 100% saham PTFI.
Dalam kekisruhan ini, tiba tiba mencuat rekaman pembicaraan seorang pejabat tinggi negara, Setya Novanto – Ketua DPR RI dengan salah satu pejabat PTFI berserta seorang pengusaha konglomerat Indonesia.
Dalam
rekaman itu pejabat tinggi negara tersebut mencatut nama Kepala
negara RI berserta wakilnya untuk memperoleh saham PTFI sebanyak 20%
untuk memuluskan perpanjangan kontrak kerja sama penanaman modal
asing antara Freeport dengan pemerintah Indonesia.
Mulai dari rakyat biasa, politikus, hingga petinggi partai memberikan komentarnya termasuk seorang politikus kondang, Prof. DR. Amien Rais yang juga kita kenal sebagai Bapak Reformasi karena berhasil “membujuk” rakyat Indonesia terutama mahasiswa untuk menumbangkan Orde Baru.
Dengan
suaranya yang lantang Pak Amien Rais meminta pemerintah untuk
membongkar tuntas kasus “Papa Minta Saham” yang memang diinginkan
oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan Amien Rais, saya melihat kasus ini dengan hal yang nyata untuk dipertimbangkan:
Pertama, selama puluhan tahun PTFI telah melakukan investasi Trilyunan dollar pada penambangan di Papua sehingga sangatlah sulit untuk menerima kenyataan bila harus hengkang apalagi diusir dari indonesia. Belum lagi, seandainya PTFI itu adalah bukan hanya sekedar perusahaan tambang biasa, tetapi juga sejak tahun 1967 merupakan “Kantor CIA” di Asia Tenggara.
Kedua,
selama ini pula para mafia “tikus” pejabat negara merampok
trilyunan rupiah uang rakyat untuk memenuhi pundi pribadi dengan
memanfaatkan jabatan dan wewenang yang disandangnya. Apakah mereka
dengan mudah merelakan pemerintahan Jokowi JK mengobrak abrik
pendaringannya ??
Ketiga, pemilu Indonesia tahun 2014 adalah pemilu yang paling seru sepanjang sejarah sejak Indonesia merdeka. Pasangan Jokowi JK dinyatakan keluar sebagai pemenang walau tidak dengan angka mutlak. Berarti masih banyak rakyat Indonesia yang menjadi pendukung loyal kepada pasangan yang kalah. Bahkan bila kita ingin bicara secara jujur, hingga kinipun dalam kenyataannya masih banyak diantara para pendukung pasangan yang kalah, berharap agar Jokowi JK gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dari ketiga hal yang saya sebutkan di atas, saya berharap rakyat Indonesia untuk terus selalu waspada akan timbulnya gejolak yang dapat memecah belah NKRI, terutama bila benar benar pemerintah Indonesia mengambil alih 100% saham PTFI.
Dengung Anti Syiah kian deras diteriakan. Bangkitnya PKI masih disuarakan sejak pemilu tahun lalu. Ditambah seruan Anti Wahabi dan Anti ISIS juga dilontarkan oleh para tokoh ulama.
Negara Indonesia didirikan dengan tumpahan darah dan pengorbanan jiwa para pahlawan. Janganlah kita hancurkan Bumi Pertiwi hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan atau partai politik tertentu.
Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh.
MERDEKA
!!!
No comments:
Post a Comment