Saturday, July 19, 2014

SUAMIKU SEORANG MONSTER (berdasarkan kisah nyata)

BAGIAN I

Nama lengkapku Nurhayati binti Maimunah Azwar dan mereka memanggilku Nurhayati atau Nur yang berarti Cahaya. Ayah dari suku Jawa seorang guru SMA sedangkan Ibuku berasal dari Sumatera Barat. Aku memiliki dua kakak dan satu adik yang kesemuanya memiliki ketidakberuntungan dalam kehidupan rumah tangganya.

Sebagai seorang anak yang dapat cukup dikatakan taat kepada orang tua, aku selalu membantu Ibu berdagang soto ayam keliling kampung selepas pulang sekolah. Prestasiku sejak di sekolah dasar selalu menjadi kebanggaan ayah dan ibu karena aku selalu memperoleh predikat juara kelas dan pernah menyandang gelar sebagai pelajar teladan.

yah, setelah lulus SMA, Nur rencananya mau cari kerja saja biar bisa bantu ayah dan ibu” kataku kepada ayah selepas makan malam.
lhooo.....kenapa tidak melanjutkan kuliah saja ? biar ayah dan ibu yang cari uang” kata ayahku.
ayah dan ibu juga berharap kamu dapat tamat Sarjana dan dapat pekerjaan bagus” tambahnya.
pokoknya kamu harus kuliah sampai tamat Sarjana” sahut ibuku.

Setelah lulus SMA, aku ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Pikirku saat itu “pantas saja banyak orang yang tidak mau balik ke kampung halamannya bila sudah tinggal di Jakarta. Kota yang begitu padat, megah dan penuh dengan hiburan apalagi mall mallnya”

Di Jakarta aku tinggal di tempat kost bersama kakakku yang bekerja sebagai karyawan toko. Kakakku juga yang membantuku untuk membayar sebagian biaya kuliah, namun ternyata dia memiliki banyak hutang.

Ingin rasanya aku kembali ke kampung daripada menjadi beban kakakku di Jakarta, tetapi aku takut dan tidak mau membuat orang tuaku malu kepada tetangga dan sahabat sahabatnya.

di sebuah jalan sempit dan curam
anak manjangan menari dan bertepuk tangan
belasan pasang mata liar mengintai
siap menerkam mencabik dan melumat
setiap serat serat daging lunak

Sore itu ketika aku sampai di rumah kontrakan kakakku sudah tiba dari kerja dan seakan telah menungguku.

tumben sudah sampai di rumah, kakak sakit ?” tanyaku
oh tidak, aku terlalu banyak pikiran dan tidak masuk kerja hari ini” jawab kakakku.
apakah ada yang bisa aku bantu, kak” tanyaku lagi sambil menghampirinya.

Kakakku menoleh ke arahku sambil mengerutkan kening lalu mengangguk dan merangkul pundakku.

kakak terlibat banyak hutang dari rentenir dan kakak mau minta tolong kepadamu, Nur” kata kakakku dengan lirih
kakak tidak punya uang untuk bayar hutang kakak tapi mereka tertarik kepadamu” sambung kakakku sebelum aku menanyakan pertolongan apa yang diperlukan dariku.

Aku masih belum paham sebenarnya apa yang diinginkan oleh kakakku dariku, adik kandungnya ini.

Kakakku menatapku sambil menggenggam tanganku dan berkata “dua diantara mereka adalah pengusaha dan satunya lagi adalah pegawai pemerintah. Mereka ingin kakak membayar hutang kakak dengan mencarikan gadis muda dan polos dari daerah untuk menemani mereka hanya untuk beberapa jam saja di kamar hotel”.

Jantungku keras berdetak, darahku seakan berhenti mengalir dan butiran peluh dingin membasahi keningku.
Ya Alloh, apakah aku tidak salah dengar ? apakah aku tidak bermimpi” rintihku dalam hati.

Aku tidak dapat berkata kata lalu masuk ke kamar dan hanya dapat menangis. Kakakku yang selama ini baik dan kuhormati begitu tega ingin menjualku kepada pria hidung belang. Haruskah kuturuti permintaannya ? Apa yang harus kukatakan kepada orang tuaku bila aku putus sekolah dan balik ke kampung ?


BAGIAN II

Sepanjang malam aku menangis dan tersungkur sembahyang tahajjud memohon lindungan-Nya. Aku benar benar tidak tau apa yang harus kulakukan, akalku seakan mati terkubur.

Keesokan paginya, sebelum aku berangkat ke kampus kakakku menghampiriku.

Nur, apakah kamu sudah berpikir tadi malam dan akankah kamu membantuku ?” tanya kakak kepadaku. “toh....suatu saat nanti kita semua para wanita tidak lagi memiliki keperawanan” sambungnya.

Aku terdiam sesaat dan menjawabnya “kalau itu maunya kakak, biarlah aku rela untuk membantu kakak”. Tanpa terasa akupun meneteskan air mata dan sungguh merasa begitu pedih.

Kakakku tersenyum dan bilang akan menghubungi mereka para rentenir yang juga para hidung belang untuk mengatur waktu pertemuannya denganku.

kabut menjamah bumi
tiada lagi cercah terang
bukan lagi sebuah mimpi
terajut benang benang uzur
menggiring bayang ke bibir sumur

Hari pertama, tugasku menemani seorang pria ramah paruh baya dengan rambut yang sudah mulai memutih. Dia mengajaku ke daerah Blok M untuk makan siang lalu kami menuju Ancol untuk istirahat siang. Dia banyak bertanya mengenai kegiatanku dan latar belakangku. Sepanjang perjalanan aku terus gemetar dan manahan tangisku. Aku hanya dapat berdoa “Ya Alloh bantulah aku......Ya Alloh turunkanlah Malaikat-Mu”.

Entah apa yang terjadi, pria itu tiba tiba menghentikan mobilnya di Monas dan memberiku amplop uang Rp500 ribu lalu menyuruhku pulang. “hati hati di jalan dan salam untuk kakakmu” kata pria tersebut ketika aku akan keluar dari mobil.

Setibanya di rumah kakakku langsung mengambil amplop yang diberikan oleh pria tadi kepadaku, lalu aku tersungkur di lantai kamar dan menangis sekeras kerasnya. Allah telah menyertaiku dan menunjukan kuasa-Nya.

Hari kedua, aku menemani seorang pria pegawai pemerintah yang masih kental logat daerahnya. Begitupun dengan “teman baruku” ini yang juga membatalkan niatnya, kemudian menurunkanku di jalan Fatmawati Blok M dan memberiku uang Rp1 juta tanpa menjamah kulitku sedikitpun.

Lagi lagi aku tersungkur di lantai kamar menangis sejadinya dan uang pemberian pria kedua itupun diambil oleh kakakku.

Hari ketiga, aku bersama seorang pria yang mungkin masih berusia 30-an. Kami hanya membicarakan latar belakang dan masa kecil kami lalu menjelang sore dia memberiku uang Rp500 ribu untuk pulang naik taxi.
Kakakku-pun meminta uang yang diberikan oleh pria ini kepadaku.

Selama tiga hari aku benar benar telah dilindungi Allah dari lumpur api yang akan mengotoriku. Kakakku sama sekali tidak merasa bersalah, tapi malah memuji mujiku pintar cari uang.

wah...kamu ternyata hebat juga cari uang, lebih hebat dariku” kata kakakku kepadaku sambil tertawa terbahak.

Aku tidak menjawabnya dan langsung pamit pergi kuliah dan kupikir itulah akhir dari rasa takutku. Namun ternyata dugaanku salah.

Telah beberapa bulan kakakku sengaja tidak bayar sewa kost rumah dan membiarkan setiap pria boleh masuk ke kamarku bahkan ada beberapa diantaranya hampir memperkosaku.

Aku tak habis pikir dan benar benar tidak menyangka kehidupan kakakku di Jakarta seperti itu. Kakak yang ketika tinggal di kampung rajin sholat dan beribadah, kini sudah berubah total dan bukan lagi seperti kakakku yang pernah ku kenal dulu. Aku tidak bisa lagi tinggal bersamanya dan memutuskan untuk pindah tempat tinggal di dekat kampus. Uang saku yang dikirimkan oleh ayahku kugunakan sehemat mungkin dan dikala waktu senggang aku membuat kue kering lalu ku jual kepada teman teman di kampus. Alhamdulillah, setelah 3 tahun aku lulus D3 Akuntansi dan memperoleh pekerjaan.

Usiaku telah memasuki 27 tahun tapi masih belum punya kekasih. Terkadang aku takut sekali untuk memiliki rumah tangga apalagi setelah aku melihat ada beberapa teman kantorku yang rumah tangganya berantakan. Disamping itu aku juga masih belum ditemukan jodoh yang cocok. Sedangkan kedua orangtuaku terus berulang kali menanyakanku kapan aku akan punya pacar dan menikah.



BAGIAN III

Terlalu ringan kapal berlayar, terombang ambing gelombang terhempas karang. Begitu mudahnya mengiris iris syair menjadi butiran melodi, namun mendung tetap berbaring di pelupuk mata dengan penuh keluguan dan ketidaktahuan.

Seperti biasanya, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri di tahun 1997 aku kembali ke kampung bersama teman teman baikku yang sudah mengenalku sejak masih di SMA. Kami bergadang di malam Takbiran dan masak masak bersama. Pandanganku malam itu tertuju kepada seorang pria pemalu yang belum pernah kukenal tapi telah membuat darahku mengalir deras, ternyata dia adalah anak dari sahabat ayahku ketika ayah masih muda. Nama pemuda tersebut adalah Reza. Selama liburan Lebaran, Reza mengajakku dan teman temanku keliling kota Medan.

Sejak saat itu kami sering ngobrol dan beberapa kali bertemu. Selama kurang lebih 2 tahun kami berpacaran jarak jauh. Hanya bila ada kesempatan hari libur aku kembali ke kampung atau Reza datang ke Jakarta menemuiku. Reza tergolong seorang pria yang tidak banyak bicara dan tidak suka membicarakan latar belakang keluarganya. Dia juga tidak suka bergaul dan tidak memiliki banyak teman. Hingga suatu saat Reza ingin bertemu dengan kedua orang tuaku untuk meminangku.

ayah tidak mau kamu menikah dengannya karena ayah tau benar siapa orang tua Reza dan keluarganya. Mereka bukanlah keluarga beribadah seperti keluarga kita” bentak ayah kepadaku yang pertama kali dalam seumur hidupku.
tapi aku menyukai dan mencintainya ayah, lagi pula sekarang usiaku sudah 29 tahun” sahutku.

Ayah dan ibuku mulai bertengkar karena ibu membelaku, lalu akupun bilang “kalau ayah tidak merestuiku menikah dengan Reza, biarlah aku tidak menikah selamanya”.

Setelah berhari hari kami tidak bicara, akhirnya dengan berat hati ayah mengizinkan aku menikah dengan Reza. Aku merasa tidak salah memilihnya sebagai suamiku walau ayahku tidak memberi restu.

Reza adalah seorang suami pencemburu. Sejak kami menikah, Reza melarangku untuk terlalu sering bergaul dengan teman temanku bahkan saudara dan keluargaku.

Pada beberapa bulan pertama pernikahan kami, Reza sungguh memberikan kebahagiaan kepadaku. Dia benar benar memperhatikanku bahkan tidak malu untuk memeluk dan menciumku di hadapan saudara dan sahabat sahabatku, walaupun terkadang aku merasa perlakuannya itu terlalu berlebihan, tetapi masih kuanggap wajar.

Ada suatu hal yang sebenarnya aku malu untuk menceritakannya kepada keluarga dan saudara saudaraku karena kuanggap masalah ini adalah masalah hubungan pribadiku dengan suamiku tetapi semakin lama hal ini sangat membebaniku.

Keanehan keanehan prilaku Reza kian lama kian tampak terutama setelah anak pertama kami lahir. Pada suatu malam, Rini anak kami yang saat itu masih bayi sedang kurang sehat dan menangis, ketika itu kami akan melakukan hubungan intim.

Rez, aku mau menimang Rini dulu yah nanti kita lanjutkan” mintaku kepada Reza
tidak usah biar saja dia nangis” sahutnya, sambil terus rakus melumatku, tetapi tangis Rini semakin keras membuatku semakin tidak tega.
Rez, sebentar dulu yah aku mau kasih Rini minum obat dulu” pintaku lagi

Tiba tiba Reza menampari wajahku beberapa kali dan menjambak rambutku sambil berteriak “makan tuh anak, pergi sana perempuan sialan”, kemudian menendangku hingga aku tersungkur ke lantai.

Sejak kejadian malam itu perlakuan Reza terhadapku semakin brutal dan semakin tidak terkontrol. Dia tidak peduli apakah aku sedang sakit atau bahkan ketika aku sedang menstruasipun, aku juga tetap harus melayaninya melalui “jalur lain” (anal sex).

Begitu kutolak permintaannya, wajah dan tubuhku akan langsung dijadikannya sebagai “punching bag” tanpa ampun. Setelah dia puas memukuliku dan keinginannya terpenuhi, dia akan tertidur lelap, sedangkan aku dibiarkannya menangis sambil membersihkan darah dari bibir, hidung dan bagian wajahku lainnya.

hati terbercak kecewa
tak sanggup mengukir sastra
jemaripun gemetar tak mampu menggenggam pena
jiwa terkurung di lembah duka


BAGIAN IV

Reza memperlakukanku seperti seorang budak untuk melampiaskan napsu birahinya, namun prilakunya di hadapan orang lain sangatlah bertolak belakang seakan terlihat dia adalah suami yang penuh kasih sayang terhadap istrinya.

Para tetangga kami tidak mengetahui derita yang kumiliki. Mereka melihatku layaknya keluarga pasutri bahagia yang patut dicontoh oleh pasangan muda. Yang mereka tau bahwa aku selalu tersenyum. Beberapa diantara mereka pernah datang kepada kami untuk meminta nasihat masalah keluarga mereka. Layaknya seorang Imam, suamikupun memberi nasihat kepada mereka yang memiliki masalah dalam rumah tangganya. 

Di suatu pesta pernikahan aku bertemu dengan temanku sewaktu kuliah di Jakarta, namanya Putri dan Anton suaminya. Seperti biasanya Reza menggandengku dengan lembut dan penuh mesra di hadapan banyak orang.

hai.....Nurhayati, apa kabar ? sudah lama tidak ketemu yah. Oh ya......kenalkan ini Anton suamiku” sapa Putri kepadaku dan Antonpun mengulurkan tangannya untuk menyalamiku dan Reza.
Putri......kabarku baik baik, ini suamiku Reza” jawabku.
waaahh......Nur sejak tadi kuperhatikan, ternyata kamu masih cantik seperti dulu dan kalian mesra sekali, kita jadi ngiri nih” canda Putri kepadaku.
yah......beginilah resiko punya istri cantik harus dijaga betul betul biar tidak pindah ke lain hati” sahut Reza tersenyum sambil memeluk pinggangku dan mencium pipiku dihadapan mereka.

Kemudian kamipun berempat ngobrol sambil menikmati kemeriahan pesta.
Sepanjang perjalanan pulang dari pesta, Reza tidak bicara sedikitpun kepadaku. Kupikir dia hanya cape dan ngantuk. Namun, ketika kami di kamar untuk mengganti pakaian dengan gaun tidur, Reza memulai pembicaraan.

berapa lama kamu sudah kenal si Putri ?” tanyanya kepadaku sinis
dia teman kuliahku dulu waktu di Jakarta dan kami sering belajar bersama” jawabku sambil ku sisir rambutku.
mulai hari ini kamu tidak boleh lagi bergaul dengannya, mengerti ?! aku tidak suka dengan wanita yang banyak bicara seperti pelacur” sahutnya.

Aku tersentak karena benar benar tidak tau apa yang ada di pikiran Reza, lalu aku mencoba untuk membuatnya mengerti.

apakah ada yang salah dengannya, Rez ? dia anak baik baik dan akupun mengenal betul mereka dari keluarga soleh dan solehah” sanggahku.
pokoknya aku tidak mau kamu bergaul dengannya. Titik” bentak Reza
tapi kenapa, Rez ?” tanyaku lagi penasaran.
tidak perlu banyak tanya kau, Perempuan Sundal ! pokoknya aku tidak mau kamu bergaul dengannya !” bentak Reza sambil menjambak rambutku lalu mendekatkan wajahku ke wajahnya dengan mata melotot, kemudian membenturkan kepalaku ke tembok kamar. Akupun langsung meng-iya-kannya untuk menghindari tindakannya yang lebih brutal terhadapku.

Hingga suatu hari aku sudah tidak tahan lagi dan di hadapan kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya berserta sanak family, aku mengadukan semua perbuatan Reza terhadapku. Ayahku yang memang sejak semula tidak merestui pernikahan kami marah besar dan menyuruh kami untuk bercerai dengan hukum adat. Di situ Reza menangis bersujud di hadapan ayah dan ibuku lalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi, juga berjanji akan memperlakukanku sebagai istri dengan sebaik baiknya.

Awalnya ayahku tidak mau menerima tetapi karena kupikir Reza akan berubah, maka kubujuk ayahku untuk memaafkannya dan aku juga memaafkannya, akhirnya ayahku mengalah dan memaafkannya juga.

Hanya berselang beberapa bulan kemudian Reza kembali menyakitiku. Kali ini ayahku benar benar merasa terpukul dan sangat sedih hingga beliau meninggal dunia.

Semakin sering Reza tiba di rumah ketika subuh pagi cuma beberapa jam istirahat lalu berangkat ke kantor lagi. Aku juga sering mendengar kabar dari beberapa teman yang memergoki suamiku sering pergi bersama wanita yang berbeda beda tetapi aku tidak pernah mengusiknya karena aku tau dia akan marah dan mulai memukuliku lagi.

Ingin ku tembus semak berdiri melintasi rimbunnya belantara. Namun terlalu tebal kabut menerawang dan menahan pijakku untuk menyentuh bayang. Bilur bilur yang kuterima darinya masih membekas. Tiap tetesan darah yang keluar dari setiap lubang poriku sebagai tanda perjuanganku mempertahankan keutuhan rumah tangga.


BAGIAN V

Bertahun telah bahtera rumah tangga kami berlayar dan aku semakin yakin bahwa suamiku memiliki kelainan kejiwaan terutama dalam berhubungan sex. Dia melakukannya dimana saja tanpa peduli waktu dan dengan cara apapun. Ketika Reza marah kepadaku, anak anak kami juga akan menjadi tumpuan kemarahannya dan sering kena pukulnya.

Aku tidak pernah punya nyali untuk melaporkan perbuatannya ke Polisi karena Reza telah mengancam akan membunuhku berserta anak anakku, dan akupun tau betul sifatnya yang penuh dengan kebengisan dan kejam. Aku hanya dapat mengeluh mengenai semua ini kepada ibu tetapi ibuku melarangku untuk menceritakannya kepada siapapun agar Reza tidak berbuat nekad seperti apa yang diancamkannya kepadaku, disamping untuk menutup aib keluarga. Ibu menyarankanku selalu sembahyang tahajjut agar suamiku menjadi baik.

Beberapa kali telah kusarankan suamiku untuk konsultasi dengan psychiater tetapi hanya tamparan yang melayang ke wajah dan tubuhku. Begitupun konsultasinya dengan beberapa tokoh agama seperti Pak Ustadz / Pak Kyai semuanya gagal dan berbuntut dengan perdebatan bahkan hampir terjadi pemukulan yang dilakukan oleh Reza kepada mereka. Reza merasa lebih pintar daripada mereka dan tidak suka orang lain ikut campur dalam masalah keluarga kami.

Suatu hari suamiku kembali dari luar kota bersama kedua orang temannya. Mereka telah bersahabat sejak lama dan sepengetahuanku mereka adalah orang orang baik. Ketika suamiku sedang di kamar mandi, aku membuka kamera yang dibawanya untuk melihat lihat.

astagafirullahalazim.....gila...gila....ya Alloh mimpikah aku ini” teriakku. Bukan main kagetnya begitu kulihat isi rekaman di kamera. Mereka bertiga sedang berpesta sex di sebuah kamar, hanya mereka bertiga para pria, ternyata suamiku juga menyukai sesama jenis.

Tiba tiba Reza meraih kameranya dari tanganku dan membentakku “itu urusanku dengan teman temanku dan kamu tidak perlu ikut campur, kurang ajar, bedebah. Benar benar istri sialan kau”.

maaf Rez, apa aku tidak salah lihat, kamu perlu ke dokter Rez” saranku dalam keadaan antara percaya dan tidak percaya.

Sekonyong dia meraih segala yang ada di meja termasuk piring bahkan piala penghargaan milik anakku untuk dihujamkan ke kepala, wajah dan tubuhku. Berkali kali aku dihantam tinjunya dan pikirku itulah akhir dari hidupku. Aku tidak sadarkan diri hingga saat mataku terbuka aku sudah berada di rumah sakit ruang gawat darurat dengan wajah dan tubuh terbalut luka, dan jiwa sekarat. Duduk di sebelahku hanya ibuku dan tetanggaku yang membawaku ke rumah sakit.

tatapan jauh menerawang
mencabik cabik kekosongan angan
bertangis duka
air mata mendanau
tiada angin yang peduli
apalagi singgah menemani kepedihan hati

Kini, setelah belasan tahun kami menikah, aku seakan telah terbiasa menjalani penderitaan ini dan selalu pasrah setiap saat untuk menerima perlakuan brutal dari suamiku.

Kami dikaruniai dua orang anak yang cerdas. Anak kami yang pertama kelas 5 SD, selama dua tahun terakhir memperoleh beasiswa karena prestasinya di sekolah. Aku telah mengirimnya ke boarding school jauh dari kami agar dia dapat bertumbuh layaknya anak anak normal jauh dari kekerasan. Aku juga telah merencanakan akan mengirim anakku yang kedua ke sekolah tersebut.

Suatu hal yang pasti adalah sampai hari ini aku masih mencintai suamiku dan kedua anak kami. Aku sungguh mencintai keluargaku.

Di kala senja kembali datang sorot mata jauh memandang. Lembaran sutra kian lembut dan kian kokoh menyelinapi kisi kisi cakrawala. Sambil menantikan azan Magrib berkumandang, kutaburkan harapan dan kepasrahan hanya kepada Sang Khalik di atas sana.

Ya Alloh Ya Rabbi, lindungilah hambamu dan anak anak hamba yang hina ini. Jauhkanlah kami dari kekejian dan kejahatan, Ya Alloh. Biarlah Kau bukakan mata hati suami hamba agar segera sadar dan kembali ke jalan-Mu.
Amin Ya Rabbal Alamin.

Tamat.

No comments:

Post a Comment