“Sri,
aku tidak bisa datang belajar ke rumahmu hari
ini sebab ibuku sakit”. “Oh iya tin,
tidak apa apa, lain kali saja. Salam untuk ibumu semoga cepat sembuh
yah, tin”.
Sri
dan Entin berteman sejak masih di bangku SD. Hubungan mereka akrab
sekali seperti kakak beradik. Mereka berdua
pun adalah
pelajar teladan di sekolahnya dan selalu
memperoleh predikat juara pertama atau kedua.
Walaupun Entin masih berusia 14 tahun dan duduk di kelas 2 SMP tapi perawakannya yang bongsor dan dengan wajahnya yang manis berkulit kuning langsat membuat para pria menyukainya tanpa kecuali bahkan para pria paruh baya.
Bagi
masyarakat desa, Pak Romi merupakan sosok pria yang cukup terpandang.
Selain memiliki sawah dan usaha perternakan, sebagian besar penduduk
desa juga bekerja untuknya. Beliau terkenal
ramah dan suka menolong sehingga membuat
penduduk desa sungkan dan tidak segan segan untuk menyerahkan anak
gadisnya untuk dijadikan istri oleh beliau.
Pak
Suroso, ayah Entin adalah salah seorang buruh tani yang bekerja untuk
Pak Romi, sedangkan Ibu Sanem, ibunda Entin bekerja sebagai tukang
cuci pakaian. Kedua adik Entin masih duduk di kelas 1 dan kelas 3
sekolah dasar.
Sudah beberapa bulan ini Pak Suroso jarang bekerja karena kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Penghasilan Ibu Sanem tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membeli obat. Beruntung sekali Pak Romi masih terus membayar gaji Pak Suroso walaupun jarang masuk kerja, dan sesekali waktu Pak Romi memberinya uang lebih.
“tin, sepertinya ayah sudah tidak akan lama lagi dapat bertahan” kata Pak Suroso kepada Entin di suatu malam.
“Pak Romi selama ini sudah banyak membantu keluarga kita” sambung sang ayah “sudah lama dia bilang kalau dia mau menjaga kamu dan menjadikanmu istrinya”. Mendengar hal itu, hati Entin tersentak menahan sedih karena apa yang ditakutkan selama ini akan segera terjadi, namun Entin berusaha untuk menutupi kekhawatirannya itu.
“bila menurut ayah dan ibu hal itu adalah yang terbaik, Entin akan mengikuti keinginan ayah dan ibu” sahut Entin dengan bibir gemetar dan tidak dapat lagi menangan linangan air matanya.
Beberapa hari kemudian, Pak Romi bertamu ke rumah Pak Suroso untuk membicarakan masalah hubungannya dengan Entin. Pak Suroso dan istri bersedia menyerahkan Entin kepada Pak Romi untuk dijadikan istri namun Pak Romi diminta menunggu sampai Entin lulus SMA.
Dengan
berat hati, Pak Romi pun menerima persyaratan keluarga Pak Suroso
tersebut.
Ketika Entin di bangku kelas 2 SMA, Pak Suroso meninggal dunia karena kanker paru paru. Sejak itu Pak Romi semakin sering menyambangi rumah keluarga Entin sambil membujuk Entin untuk mempercepat pernikahan mereka. Namun, Ibu Sanem dan Entin berkeras tetap menolaknya sesuai dengan pesan Almarhum Pak Suroso sebelum meninggal dunia. Hal inilah yang membuat Pak Romi naik pitam yang akhirnya membatalkan perjanjian mereka dan tidak lagi mensupport keuangan untuk keluarga ibu Sanem. Kemudian Pak Romi menikahi gadis desa yang tidak lain adalah Sri sahabat baik Entin sejak masa kanak kanak.
“setelah
lulus SMA ini rencanamu apa, tin”.
“entah,
Sri. Mungkin aku mau cari kerja saja untuk membiayai keluarga dan
adik adikku”.
Sri
yang saat itu sudah menjadi istri Pak Romi hanya dapat menunduk
karena tidak ada lagi peluang baginya untuk melanjutkan kuliah atau
bekerja selain menjadi ibu rumah tangga. Keduanya saling
berpelukan dan berharap persahabatan mereka terus berlanjut. Namun
tidak demikian dengan Pak Romi yang merasa sakit hati dengan keluarga
Entin, sehingga beliau melarang Sri untuk bergaul dengan Entin
berserta keluarganya.
Di
bangku SMA, Entin yang menyenangi pelajaran Fisika dan Kimia memilih
jurusan IPA dan menunjukan prestasi yang luar biasa sehingga berhasil
meraih juara umum di sekolahnya.
Kisah prestasi Entin di SMA sampai ke telinga salah seorang pejabat daerah yang kemudian menghubungi pihak sekolah untuk membantu Entin memperoleh bea siswa penuh di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.
Dikala Entin sedang menyusun skripsi untuk menyelesaikan Program Sarjana, Entin juga berhasil melewati tes untuk kelak memperoleh bea siswa kuliah Pasca Sarjana di negara Jerman.
Tiada
seorangpun yang dapat meramal siapa jodoh kita dan kapan atau dimana
kita akan bertemu. Begitu pula dengan Entin yang tidak pernah
membayangkan sebelumnya bahwa dia akan bersuamikan seorang pria yang
berbeda bangsa, budaya maupun bahasa. Kini mereka tinggal di kota
Hamburg bersama dua buah hati mereka.
Atas
saran para sahabatnya yang juga sesama perantauan dari Indonesia,
Entin bergabung untuk memiliki akun Face Book.
Setelah
lebih dari 30 tahun sejak berpisah dengan Sri, akhirnya pada tahun
2009 mereka bertemu di dunia maya. Hampir di setiap kesempatan mereka
saling berkomunikasi.
Tahun
2010 Entin bersama keluarganya berlibur ke Indonesia mengunjungi
ibunda Entin yang sudah mengikuti kedua adiknya tinggal di Jakarta.
Pada
liburan itu, Entin menyempatkan diri mengunjungi desa kelahirannya di
pinggiran kota Bandung dan berhasil menemui Sri.
Tangis
bahagia dua orang sahabat terlepas bebas.
“inilah
hidupku sekarang, tin. Sejak Pak Romi meninggal 25
tahun lalu aku tinggal bersama anak tunggalku dan menjaga kedua
cucuku ketika mereka pergi ke
sawah”.
Di hadapan mereka ada dua anak kecil yang sedang bermain congklak. Perlengkapan alat main congklak tersebut terlihat sudah kusam dengan suatu goresan di bagian ujungnya yang juga sudah hampir pudar, namun masih dapat terbaca S & E.
Teringatlah
oleh mereka berdua kenangan lama yang begitu indah dan takkan pernah
terlupakan. Dengan melinangkan air mata Entin memeluk Sri lalu
berkata “kamu masih menyimpannya”.
Raymond Liauw
No comments:
Post a Comment