Friday, February 6, 2015

RINDU YANG TEROBATI (Cerita Pendek)


Bagaimana kabarmu hari ini, Jess ? tadi siang mama tidak menjengukmu, maafkan mama yah, sayang”.
Aku hanya tersenyum menatapnya lalu kuucapkan selamat malam “tidak apa apa, ma. Sudah malam, mama tidur di sini yah”.


Mungkin karena aku adalah anak semata wayang maka kedua orang tuaku sangat menyayangiku. Sewaktu masih kecil, aku sering melihat papa dan mama saling berpelukan dan bermesraan. Kami juga sering berpergian ke luar kota menikmati hari libur. Namun, kemesraan tersebut telah pupus dan tak pernah terlihat lagi sejak tiga tahun yang lalu. Mereka berdua mungkin terlalu sibuk dengan urusannya masing masing.


Mama selalu menemuiku saat aku sedang sendiri, begitupun papa yang sering mengajakku ke luar makan atau jalan jalan tanpa mama. Ketika kutanya, mama bilang sering merindukan papa, begitu juga papa bilang masih sangat mencintai mama. Walau usiaku masih 7 tahun tapi aku bisa melihat kejanggalan ini dan entahlah sepertinya ada banyak masalah orang dewasa yang masih belum kupahami.


Sudah hampir dua bulan tubuhku terbaring di bangsal rumah sakit. Papa mengunjungiku setiap pagi sebelum berangkat ke kantor dan sore hari sepulangnya dari kantor untuk membacakan buku cerita. Kebenaran jarak rumah kami hanya beberapa ratus meter dari rumah sakit ini.


Tidak seorangpun yang pernah memberitahuku penyakit apa yang kuderita. Mereka hanya bilang aku harus banyak beristirahat. Yang kurasakan kini adalah semua anggota tubuh terutama persendian tulang dan jemariku semakin melemah dan rambut di kepalaku semakin mudah sekali terlepas sehingga kulit kepalaku tampak menggundul.


Hallo........... Selamat pagi Jessica. Ayo tebak siapa yang ada di luar untuk menemuimu ?” sapa suster Emma dengan ramah sambil membuka gorden jendela untuk membiarkan sinar mentari menghangati seisi ruang kamar.
Belum lagi aku menjawabnya sekelompok anak anak seusiaku memasuki ruang kamar kemudian saling berebut untuk menyapa dan memelukku. Mereka adalah teman teman SD sekelasku yang datang bersama Ibu Martha, guru kami. Kedatangan mereka juga bersamaan dengan waktu kunjungan papa.


Apa kabar ibu Martha ?” sapa papa sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Hai........ Pak Marco, kami baik baik dan maaf bila pagi ini mengganggu kunjungan bapak. Anak anak sejak kemarin sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Jessica”
Tidak apa apa, bu. Saya dan terutama Jessica sangat senang menerima kunjungan ibu dan teman kelas Jessica” sahut papa.
Oh ya, bagaimana kondisi Jessica ?” sambung ibu Martha.


Papa menengok ke arahku sambil mengajak ibu Martha ke pojok ruangan untuk menjauhi keramaian teman temanku. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan tapi kulihat ibu Martha tertunduk lalu mengusap pipinya dengan sapu tangan, sesekali memalingkan wajahnya untuk dapat menatap dan tersenyum kepadaku. Beruntung sekali aku memiliki teman teman baik seperti mereka walau ruang kamarku kembali sunyi setelah mereka pergi.


Hidupku benar benar dipenuhi dengan kejenuhan. Butiran butiran obat yang kutelan tiga kali sehari sepertinya tidak membantuku untuk pulih. Sampai suatu ketika kurasakan tubuhku begitu lemah dan menggigil dingin setelah aku dan papa baru saja menyelesaikan makan malam.


Pa, kemarin malam mama datang dan membacakan buku cerita untukku. Mama cantik sekali seperti seorang Permaisuri mengenakan gaun putih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai indah seperti kilau mahkota”.
Mama juga cerita kepadaku kalau mawar merah yang papa berikan tadi malam sudah ditaruh di vas bunga”.


Perlahan Papa mendekatiku lalu berkata:

Jessica sayang, kemarin malam papa bersama mamamu pergi ke suatu pesta dimana semua undangan mengenakan gaun putih. Di setiap meja terdapat banyak bunga mawar, dan papa memetiknya satu untuk mama”.
Tapi..........tapi........... itu hanya mimpi, Jess. Itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak nyata” sahut papa perlahan dengan mata berkaca kaca dan bibir gemetar.
Papa tau perasaanmu dan kepedihanmu, tapi kita harus menerima kenyataan kini mama bukan milik kita lagi sejak tiga tahun lalu saat usiamu masih 4 tahun”.
Papa akan selalu sayang kepadamu dan juga tidak akan pernah ada wanita lain untuk menggantikan mamamu” sambungnya.


Papa baik tetapi kenapa mama tega meninggalkan papa ?, aku setiap hari bertemu dengan mama” bisikku ke telinganya.


Papa hanya menatapku sambil menggigit bibir bawahnya tanpa berkata sepatah katapun tetapi malah mendekap tubuhku yang mungil. Kulihat titik titik bening terus mengalir dari sudut keriput matanya yang lembut.


Seketika kurasakan tubuhku semakin menggigil dan entah kenapa hal itu membuat papa merasa panik kemudian lari secepatnya ke luar kamar. Hanya dalam sekejap kamarku sudah dipenuhi oleh para suster dan dokter.

Sementara papa menunggu di luar kamar, para medis tampak sibuk sambil mengguncang guncangkan tubuhku. Tiba tiba saja aku merasakan suatu gelombang kehangatan yang membuat diriku merasa begitu nyaman.


Kulihat papa mendekatiku lalu memeluk tubuhku sambil menangis tersedu dan menciumi wajahku. Air matanya menutupi kelopak mataku dan mengatup bibirku yang sejak tadi tak bersuara.

 
Aku masih di sini, kenapa papa menangis ?” tanyaku dalam hati.

 
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi bercerita kepada papa mengenai hari hariku bersama mama.
Sedangkan papa semakin sering pulang dalam keadaan mabuk. Bila malam aku ke dapur menyalakan lampu untuk mengambil minum, papa langsung keluar dari kamarnya dan mematikan lampu tanpa menghiraukan aku yang berdiri tepat di sampingnya.
Setiap kali ku sapa, papa tidak pernah menjawab tapi malah memalingkan wajahnya yang tampak kusam dan tidak ramah. 

 
Aku tidak tau kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga papa begitu membenciku. Setiap hari aku menangis di dalam kamar dan hanya mamalah satu satunya penghiburku.


Di suatu malam, hujan turun deras sekali. Kutoleh sisi ranjangku ternyata mama masih belum pulang. Petir dan kilat saling menyambar memekakkan telinga membuatku sangat ketakutan. Perlahan ku jalan berjingjit menuju kamar papa untuk meminta izin tidur bersamanya.
Tidak seperti biasa, pintu kamar papa malam itu tidak terkunci rapat. Sayup terdengar papa sedang berbicara kepada seseorang.

Penderitaan inikah yang harus kutanggung sampai akhir hayatku ?”
Oh........ aku mencintaimu tapi aku juga mencintai istri dan anakku”

 
Dengan siapakah papa bicara ?, apakah papa memiliki kekasih lagi ?” pikirku


Rasa penasaranku kian menjadi dan ku beranikan diri untuk menyibak pintu kamarnya. Namun, aku tidak melihat siapa siapa di dalam kamar kecuali papa yang sedang bersimpuh di sisi ranjang dengan kedua tangannya mengepal sambil menangis terisak.
Ruang kamarnya begitu berantakan tak terwat dan di atas meja tulisnya berserakan botol kosong minuman keras. Aku benar benar heran dengan prilaku papa yang semakin lama semakin aneh itu.


Tiba tiba papa menoleh ke arahku dengan tatapan tajam lalu berlari ke arahku dan “duaaarrrr..........” pintu kamar ditutup sekencang kencangnya dan layaknya seorang sedang mabuk papa pun berteriak teriak “Pergi kau setan, jangan ganggu aku. Tuhan telah menyediakan tempat bagimu di neraka jahanam” “Jangan ganggu akuuuuu........” “pergi kau setan......pergiiiiii..........neraka jahanam tempatmu...........pergiiiii........”.


Baru kali ini aku mendengar papa marah dan memakiku dengan umpatan begitu kasar. Aku berlari secepatnya kembali ke kamarku dan malam itu kutahan rasa takutku dengan bersembunyi di bawah selimut sambil menanti mama kembali.


Apa yang kualami menjadi rahasiaku dan tidak kuceritakan kepada mama agar mereka tidak bertengkar yang dapat memperburuk hubungan mereka berdua, walaupun sesekali mama bercerita bila dirinya baru bertemu papa untuk makan malam bersama.


Hari hariku tanpa papa penuh dengan kemuraman. Rangkaian kenangan manis bersamanya seketika lenyap tertelan kegelapan. Aku rindu peluk hangatnya, canda tawanya, belaiannya, pangkuannya,........... ohhhhh........... aku benar benar merindukan papa yang pernah kukenal begitu lembut penuh kasih sayang sejak aku masih bayi.

 
Tahun demi tahun telah berlalu tanpa tegur sapa dengan papa yang sudah tampak semakin tua. Namun, suatu hal yang pasti dan masih tidak kumengerti, hampir setiap malam ketika kulewati kamar tidurnya, papa sedang berbicara dengan seseorang sambil menyebut nyebut nama mama dan namaku. Papa masih mencintaiku.


Malam itu sekitar jam 08:30, dengan bantuan sebuah tongkat di tangan kanannya untuk menyanggah tubuh yang kian renta dan semakin membungkuk, papa tertatih berjalan masuk ke kamarnya.
Tangan kirinya menggenggam dua tangkai bunga mawar. Satu mawar berwarna merah ceria dan satunya lagi berwarna segar merah muda. Kemudian dia menuliskan sesuatu di atas secarik kertas putih.


Nyaliku hanya berani melalui celah pintu untuk memperhatikan apa yang sedang dilakukannya.


Setelah mencium kedua mawar tersebut diletakannya bersama carikan kertas putih di sisi bantal kepalanya, kemudian dia berbaring dan berkata “Tuhan, izinkanlah malam ini aku bertemu dengan istri dan anakku”. Kemudian papa menumpangkan kedua telapak tangannya di atas dada lalu memejamkan matanya.


Entah berapa lama aku memperhatikan tingkah lakunya yang semakin aneh.
Kenapa papa merasa aku dan mama meninggalkannya ?? padahal setiap hari kami berdua selalu berada di rumah ini dan setiap haripun kami tidak dihiraukannya.
Jantungku berdebar, jemariku mengepal dan ingin sekali aku berteriak di hadapannya tapi hanya geram yang kutahan dalam linangan air mata.


Mama keluar dari kamar menghampiriku. Sambil membelai rambutku lalu dengan lembut berkata “Jessica sayang, bersabarlah. Suatu saat kamu akan tau”.


Setelah kuyakini papa terlelap, aku dan mama memasuki kamar papa untuk melihat apa yang ditulisnya pada carikan kertas putih yang diselipkan pada kedua tangkai bunga mawar itu.


Pucat wajahku terperangah kaku tak mampu membendung linangan air mata menjadi tetesan hujan yang membanjiri lantai pijakku. Demikian pula mama yang semakin keras meremaskan jemari tangannya di kedua belah pundakku lalu menempelkan wajahnya yang ayu ke pipiku.


Selamat ulang tahun yang tercinta istriku Rebecca dan putriku Jessica di Surga”.


Detak jantung papa begitu lemah dan semakin melemah sampai tidak terdengar sama sekali. Saat melihat kami berdua, papa tersenyum dan melambaikan tangannya. Wajahnya terlihat kembali segar dan muda seperti saat kukenal dulu.


Aku dan mama saling berpandangan tersenyum lalu membalas lambaian tangan papa yang semakin jelas kian mendekat.......mendekat..........dan mendekat.


Tamat.

No comments:

Post a Comment