Thursday, August 7, 2014

JANJI DAN KESETIAAN (Cerita Pendek)


Sebagai anak muda yang hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 6 SD, Karso merasa pesimis akan masa depannya apalagi kedua orang tuanya juga dapat dikatakan tidak pernah memupuk keimanan apapun kepadanya. Dibilang Muslim tapi tidak mengerti mengaji bahkan ke Masjid juga tidak setahun sekali, apalagi masuk ke gereja tidak pernah terlintas dipikirannya.

Setiap hari dia bergaul dengan anak anak kampung sebayanya. Di pinggir comberan ngobrol ngalor ngidul mengenai nasib dan pergolakan Partai Politik di dalam negeri.

Kar, ape elu kagak mau jadi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) ? kemaren si Bang Rohmat dapet duit segepok padahal cuma baru daftar jadi anggota doangan” tanya Soleh.
Kagak ah, gue kagak demen politik” sahut Karso menggaruk garuk tangan sambil menikmati gambar tattoo barunya.
eh… Soleh muke gile, elu jangan tanya Karso masuk Partai, udeh pasti die kagak mau. Elu sediain dong Johnny Walker biar 10 botol juga dijabanin luh….hahahhaha” sambung Somad anak Pak Dudung tukang gali sumur sambil ngakak.

Demikianlah kegiatan anak anak muda pengangguran di kampung Karso. Mereka hanya tau bagaimana hari ini dan tidak peduli dengan besok apalagi masa depan. Di dekat rumah Karso ada lapangan tenis dimana orang orang borjuis mulai dari atlet, pejabat pemerintah bahkan bintang film sekelas Lince Tambayong sering datang untuk meregangkan otot. Setempo waktu Karso datang ke sana sebagai anak bola istilah untuk tukang pemungut bola tenis kalau bolanya ke luar lapangan atau terhenti di tengah lapangan. Setelah pertandingan, para pemain tenis memberi upah beberapa rupiah kepada ‘anak bola’.

Sambil memutar mutar puntung rokok Karso cerita ke Somad “gue paling suka kalau Pak Broto dan temen temennye main tenis sebab ngasih upahnye banyak banget, kagak kayak si Pak Jumin kalu ngasih upah paling banter 3 ringgit buat beli getuk berape biji doangan”.

Pak Broto yang rumahnye di Jalan Lembang, Kar ?”
iye betul elu tau kan die. Kalu orang bisa banyak begitu duitnye dari mana yah ?” sambung Karso
oh…kalu die sih emang pengusaha, kan anak anaknye pada sekolah di luar negeri. Emangnye emak bapak kita, boro boro sekolah ke luar negeri, mau ke luar kota aje juga mikir kagak gablek duit” jawab sengit Somad.
gue kepengen juga jadi orang kaya, mad, tapi gimana caranye ?”
kagak usah banyak menghayal deh luh Kar, ntar jadi gila luh kayak si Rodi anaknye Mpok Rohima, mendingan mikir acara kita entar malem kemane nih ?”
mad, entar malem bukannye kita disuruh dateng ke rumahnye Pak Dullah, anaknye ulang taon”
iye betul, gue juga mau dateng nih kali aja dapet jodoh…he..he…” canda Somad sambil merapihkan rambutnya yang tertiup angin.

Sore itu di rumah Pak Dullah sudah banyak tamu terutama para anak mudanya. Mereka seakan mempertunjukan keahlian dansa Cha Cha dan Boogie. Tanpa terkecuali para Opa dan Oma pun turut berdansa.

mad, gue liatin dari tadi itu perempuan yang pake baju merah muda, cakep juga”
jangan mimpi deh luh, Kar, mendingan makan aje nih lontong cap gomehnya enak banget. Lagian juga itu anak orang gedongan bukan dari kampung kita”

Bukan lelaki jantan kalau takut kenalan sama perempuan, pikir Karso. Dengan langkah pasti Karso mendekati “angsa putih” bergaun merah muda yang baru saja berdansa Cha Cha dan sedang meneguk air putih.

hey…” sapa Karso
hey…” sahutnya sambil tersenyum membuat Karso menelan ludah dan jantung hampir copot.
dansa luh bagus juga, gue demen ngeliatnye. Nama gue Karso, nama luh siape ?” lontaran kata kata spontan Karso yang menunjukan kelasnya di zaman itu.
terima kasih, nama Ik (saya) Sonya. Je (kamu) tidak ikut dansa dengan teman teman ?

Semakin gugup saja Karso mendapat jawaban Sonya. “bener juga si Somad, nih perempuan bukan kelas gue” pikir Karso

oh…tidak. Ik (saya) tidak bisa dansa” jawab Karso dengan logat yang kaku karena tidak terbiasa dengan Holland spreken.

Sonya dapat mengerti dan menerima kalau dia bicara dengan siapa sehingga pembicaraanpun terus berlanjut hingga pesta selesai. Mereka tampak seakan sudah saling mengenal tahunan dan membuat Somad iri pada Karso.

emangnye elu udah kenal sama tuh perempuan, Kar ? gue liatin tadi elu ngobrol akrab banget kayaknye”
baru kenal tadi, makanye usaha dong luh hahahaaaaa…..berenti di sini aje bang” jawab Karso sambil tertawa dan menyuruh tukang becak berhenti di depan gang rumahnya.

Karso mulai sering menulis surat ke Sonya sampai suatu saat dia memberanikan diri datang ke rumah Sonya untuk berkenalan dengan keluarganya.

Sonya adalah anak seorang Pendeta Pentakosta yang sejak muda biasa melayani orang orang Kristen di sekitar rumahnya yang kebanyakan umatnya adalah orang orang keturunan Tionghoa dan Belanda. Sonya sendiri active paduan suara.

Perasaan cinta kasih mereka semakin lama semakin tumbuh dan berkembang, namun Karso masih belum memiliki pekerjaan tetap dan masih memiliki kebiasaan nongkrong bersama teman teman sepengangguran di kampungnya.

Di suatu malam Natal, Karso diundang datang ke rumah Sonya untuk merayakan Natal bersama keluarganya.

kenapa papi dan mami Je (kamu) tidak diajak datang ?” tanya ibunda Sonya kepada Karso yang saat itu siap siap menyantap hidangan Natal sebelum mengadakan kebaktian Natal.
oh….tidak tante mereka ada undangan” jawab Karso perlahan yang tidak berani bilang bahwa dia bukan dari keluarga Kristiani.

Ibunda Sonya sebenarnya sudah mengetahui dari Sonya bahwa siapa Karso sebenarnya, namun beliau tidak mau mempersoalkannya agar tidak menyinggung perasaan Karso, disamping itu juga karena hal itu adalah urusan pribadi masing masing dengan Sang Pencipta.

Setahun sudah mereka berpacaran dan Sonya pun menanyakan keseriusan Karso atas hubungan mereka.

Kar, apakah kamu sudah berani melamar saya ?
wah….gimana yah kira kira orang tua kamu ngasih apa tidak ?
kalau kamu masih menganggur sepertinya mereka tidak akan setuju, Kar”

Sejak saat itu Karso mulai jarang berkumpul dengan teman teman kampungnya dan mencoba mencari pekerjaan apapun yang halal untuk mengumpulkan uang. Mulai dari mengumpulkan barang barang rongsokan untuk dipreteli bagian yang masih bisa dipakai untuk kemudian dijualnya bahkan pernah menjadi tukang becak walau cuma beberapa hari.

Hingga suatu saat dia mulai berpikir untuk memiliki usaha sendiri. Berkat bantuan dari seseorang yang telah mengenalnya ketika bermain tenis, Karso mulai belajar mendatangkan barang dari negara Jerman Barat lalu dijualnya di Indonesia.

Beberapa bulan kemudian Karso bersama kedua orang tuanya memberanikan diri melamar Sonya. Perdebatan setuju dan tidak setuju bukan hanya ada di pihak keluarga Sonya tetapi juga pada keluarga Karso. Namun kedua pihak baik orang tua Sonya maupun orang tua Karso mengalah dan menyerahkan sepenuhnya kepada anak anak mereka.

Sonya dan Karso menikah secara Kristen di Gereja Pentakosta, namun Karso belum siap untuk dibaptis untuk menjadi seorang Pentakosta, tetapi memilih untuk mengikuti Aliran Kepercayaan (Kebathinan).

Perjalanan rumah tangga mereka penuh suka cita apalagi setelah anak pertama lahir. Perbedaan keimanan tidaklah menjadi penghalang dalam mengurus rumah tangga dan mereka sangat bahagia tinggal di rumah kontrakan berbilik bambu. Bertahun tahun Karso dan Sonya mengumpulkan uang hingga akhirnya setelah anak ke 5 lahir mereka mampu membeli rumah sendiri walau kecil.

Dengan usahanya yang terus berkembang Karso merasa dirinya telah berhasil. Tidak adanya suatu pegangan keimanan pada Karso, jiwanya mengambang dan kesombonganpun menutupi mata hatinya.

Karso kembali ke kehidupannya seperti sebelum menikah. Kembali berkumpul dengan teman teman lamanya yang masih belum berubah tetap menjadi preman, ada diantaranya kecanduan madat dan morfin. Hampir setiap hari Karso pulang ke rumah hingga larut malam tanpa peduli lagi dengan Sonya dan kelima anak anaknya. Hingga saatnya Sonya tidak dapat lagi menahan emosinya dan memukul mukul tubuh Karso saat melihat suaminya itu pulang jam 1 malam dengan kondisi mabuk. Mereka bertengkar sangat hebat hingga anak anak semua terbangun.

kamu berjanji akan merubah hidup kamu saat kamu melamar saya, lihatlah kamu sekarang kembali ke masa lalu” maki Sonya

Karso yang sudah kehilangan akal karena pengaruh minuman keras manampar Sonya yang langsung tersungkur ke lantai kemudian Karso pergi ke luar rumah dan baru kembali keesokan siang harinya. Itu adalah kekerasan pertama dan terakhir yang dilakukan oleh Karso terhadap Sonya.

Kejadian malam itu membuat hubungan Sonya dan Karso tidak seharmonis dulu. Karso lebih sering keluar rumah berkumpul dengan teman teman lamanya, sedangkan Sonya sabar mengurus kelima anak anaknya dan setiap pagi siang malam tekun berdoa dan memohon kepada Tuhan untuk menyadarkan Karso agar kembali kepada keluarganya.

Usaha Karso semakin meroket sukses namun penuh kehampaan dalam keluarganya. Bertahun tahun hubungan yang tidak harmonis ini dijalani Sonya. Suatu saat ketika Karso berusia 37 tahun, Karso terkena stroke akibat terlalu banyak mengkonsumsi alkohol dan harus dirawat di rumah sakit, Karso pun pasrah bila Tuhan memanggilnya. Saat itu Karso masih belum memiliki suatu Keimanan yang pasti, dia hanya selalu menyatakan bahwa dia adalah penganut Aliran Kepercayaan (Kebathinan). Di saat saat sekaratnya itu, seorang Pastor tua mengunjungi Karso memberikan Sakramen Perminyakan.

Pastor, bila saya sembuh saya akan menjadi baik” suara Karso lemah sekali sepertinya telah siap kembali kepada Sang Pencipta.
Bapak Karso, janganlah berjanji bila bapak tidak dapat memenuhi janji bapak. Percayalah, bila Tuhan bersabda maka bapak akan sembuh” sahut si Pastor.

Semakin hari semakin berangsur baik kesehatan Pak Karso. Mobil dan hampir semua harta bendanya dijual untuk berobat jalan dan usahanya pun terbengkalai, sehingga Sonya harus menjalani usaha catering untuk beberapa tahun lamanya. Uang penghasilan catering cukup untuk keperluan keluarga sehari hari dan biaya sekolah anak anaknya. Selama berobat jalan, Karso berusaha keras agar usaha importirnya bangkit kembali.

Sepuluh tahun sejak Karso menerima Sakramen Perminyakan, Karso dan Sonya sepakat untuk menerima Sakramen Permandian untuk menjadi Katholik.
Karso meninggalkan Aliran Kepercayaan (Kebathinan) nya dan Sonya meninggalkan Pentakosta-nya yang telah dimilikinya sejak lahir.

Apa yang tertulis di dalam Kitab Suci bahwa “Tiada Yang Mustahil Bagi Allah” telah tergenapi dan terbukti dalam kehidupan keluarga Karso dan Sonya.

Mereka bukan hanya mendapati kembali keharmonisan rumah tangganya tetapi mereka juga berhasil mendidik kelima anaknya untuk memiliki keimanan yang kokoh untuk selalu berada di jalan Tuhan. Disamping itu, kelima anaknya pun berhasil meraih gelas Sarjana dan Pasca Sarjana dari Universitas di luar negeri. Dua diantaranya kini menjadi pengusaha yang sukses.

Beberapa minggu lagi Karso akan genap berusia 76 tahun dan Sonya yang kini berusia 74 tahun masih tetap setia mendampinginya.


Tamat.

No comments:

Post a Comment