Sebagai
anak muda yang hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 6 SD, Karso
merasa pesimis akan masa depannya apalagi kedua orang tuanya juga
dapat dikatakan tidak pernah memupuk keimanan apapun kepadanya.
Dibilang Muslim tapi tidak mengerti mengaji bahkan ke Masjid juga
tidak setahun sekali, apalagi masuk ke gereja tidak pernah terlintas
dipikirannya.
Setiap
hari dia bergaul dengan anak anak kampung sebayanya. Di pinggir
comberan ngobrol ngalor ngidul mengenai nasib dan pergolakan Partai
Politik di dalam negeri.
“Kar,
ape elu kagak mau jadi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) ?
kemaren si Bang Rohmat dapet duit segepok padahal cuma baru
daftar jadi anggota
doangan” tanya Soleh.
“Kagak
ah, gue kagak demen politik” sahut Karso menggaruk garuk tangan
sambil menikmati gambar tattoo
barunya. “eh… Soleh muke gile, elu jangan tanya Karso masuk Partai, udeh pasti die kagak mau. Elu sediain dong Johnny Walker biar 10 botol juga dijabanin luh….hahahhaha” sambung Somad anak Pak Dudung tukang gali sumur sambil ngakak.
Demikianlah
kegiatan anak anak muda pengangguran di kampung Karso. Mereka hanya
tau bagaimana hari ini dan tidak peduli dengan besok apalagi masa
depan. Di dekat rumah Karso ada lapangan tenis dimana orang orang
borjuis mulai dari atlet, pejabat pemerintah bahkan bintang film
sekelas Lince Tambayong sering datang untuk meregangkan otot. Setempo
waktu Karso datang ke sana sebagai anak bola istilah untuk tukang
pemungut bola tenis kalau bolanya ke luar lapangan atau terhenti di
tengah lapangan. Setelah pertandingan, para pemain tenis memberi upah
beberapa rupiah kepada ‘anak bola’.
Sambil
memutar mutar puntung rokok Karso cerita ke Somad “gue paling suka
kalau Pak Broto dan temen temennye main tenis sebab ngasih upahnye
banyak banget, kagak kayak si Pak Jumin kalu ngasih upah paling
banter 3 ringgit buat beli getuk berape biji doangan”.
“Pak
Broto yang rumahnye di Jalan Lembang, Kar ?”
“iye
betul elu tau kan die. Kalu orang bisa
banyak begitu
duitnye dari mana yah ?” sambung Karso“oh…kalu die sih emang pengusaha, kan anak anaknye pada sekolah di luar negeri. Emangnye emak bapak kita, boro boro sekolah ke luar negeri, mau ke luar kota aje juga mikir kagak gablek duit” jawab sengit Somad.
“gue kepengen juga jadi orang kaya, mad, tapi gimana caranye ?”
“kagak usah banyak menghayal deh luh Kar, ntar jadi gila luh kayak si Rodi anaknye Mpok Rohima, mendingan mikir acara kita entar malem kemane nih ?”
“mad, entar malem bukannye kita disuruh dateng ke rumahnye Pak Dullah, anaknye ulang taon”
“iye betul, gue juga mau dateng nih kali aja dapet jodoh…he..he…” canda Somad sambil merapihkan rambutnya yang tertiup angin.
Sore
itu di rumah Pak Dullah sudah banyak tamu terutama para anak mudanya.
Mereka seakan mempertunjukan keahlian dansa Cha Cha dan Boogie. Tanpa
terkecuali para Opa dan Oma pun turut berdansa.
“mad,
gue liatin dari tadi itu perempuan yang pake baju merah muda, cakep
juga”
“jangan
mimpi deh luh, Kar, mendingan makan aje nih lontong cap gomehnya
enak banget. Lagian juga itu anak orang gedongan
bukan dari kampung kita”
Bukan
lelaki jantan kalau takut kenalan sama perempuan, pikir Karso. Dengan
langkah pasti Karso mendekati “angsa putih” bergaun merah muda
yang baru saja berdansa Cha Cha dan sedang meneguk air putih.
“hey…”
sapa Karso
“hey…”
sahutnya sambil tersenyum membuat Karso menelan ludah dan jantung
hampir copot. “dansa luh bagus juga, gue demen ngeliatnye. Nama gue Karso, nama luh siape ?” lontaran kata kata spontan Karso yang menunjukan kelasnya di zaman itu.
“terima kasih, nama Ik (saya) Sonya. Je (kamu) tidak ikut dansa dengan teman teman ?
Semakin
gugup saja Karso mendapat jawaban Sonya. “bener juga si Somad, nih
perempuan bukan kelas gue” pikir Karso
“oh…tidak.
Ik (saya) tidak bisa dansa” jawab Karso dengan logat yang kaku
karena tidak terbiasa dengan Holland spreken.
Sonya
dapat mengerti dan menerima kalau dia bicara dengan siapa sehingga
pembicaraanpun terus berlanjut hingga pesta selesai. Mereka tampak
seakan sudah saling mengenal tahunan dan membuat Somad iri pada
Karso.
“emangnye
elu udah kenal sama tuh perempuan, Kar ? gue liatin tadi elu ngobrol
akrab banget
kayaknye”
“baru
kenal tadi, makanye usaha dong luh hahahaaaaa…..berenti di sini aje
bang” jawab Karso sambil tertawa dan menyuruh tukang becak berhenti
di depan gang rumahnya.
Karso
mulai sering menulis surat ke Sonya sampai suatu saat dia
memberanikan diri datang ke rumah Sonya untuk berkenalan dengan
keluarganya.
Sonya
adalah anak seorang Pendeta Pentakosta yang sejak muda biasa melayani
orang orang Kristen di sekitar rumahnya yang kebanyakan umatnya
adalah orang orang keturunan Tionghoa dan Belanda. Sonya sendiri
active paduan suara.
Perasaan
cinta kasih mereka semakin lama semakin tumbuh dan berkembang, namun
Karso masih belum memiliki pekerjaan tetap dan masih memiliki
kebiasaan nongkrong bersama teman teman sepengangguran di kampungnya.
Di
suatu malam Natal, Karso diundang datang ke rumah Sonya untuk
merayakan Natal bersama keluarganya.
“kenapa
papi dan mami Je (kamu) tidak
diajak datang ?” tanya ibunda Sonya kepada Karso yang saat itu siap
siap menyantap hidangan Natal sebelum mengadakan kebaktian Natal.
“oh….tidak
tante mereka ada undangan” jawab Karso perlahan yang tidak berani
bilang bahwa dia bukan dari keluarga Kristiani.
Ibunda
Sonya sebenarnya sudah mengetahui dari Sonya bahwa siapa Karso
sebenarnya, namun beliau tidak mau mempersoalkannya agar tidak
menyinggung perasaan Karso, disamping itu juga karena hal itu adalah
urusan pribadi masing masing dengan Sang Pencipta.
Setahun
sudah mereka berpacaran dan Sonya pun menanyakan keseriusan Karso
atas hubungan mereka.
“Kar,
apakah kamu sudah berani melamar saya ?
“wah….gimana
yah kira kira orang tua kamu ngasih apa tidak ?“kalau kamu masih menganggur sepertinya mereka tidak akan setuju, Kar”
Sejak
saat itu Karso mulai jarang berkumpul dengan teman teman kampungnya
dan mencoba mencari pekerjaan apapun yang halal untuk mengumpulkan
uang. Mulai dari mengumpulkan barang barang rongsokan untuk dipreteli
bagian yang masih bisa dipakai untuk kemudian dijualnya bahkan pernah
menjadi tukang becak walau cuma beberapa hari.
Hingga
suatu saat dia mulai berpikir untuk memiliki usaha sendiri. Berkat
bantuan dari seseorang yang telah mengenalnya ketika bermain tenis,
Karso mulai belajar mendatangkan barang dari negara Jerman Barat lalu
dijualnya di Indonesia.
Beberapa
bulan kemudian Karso bersama kedua orang tuanya memberanikan diri
melamar Sonya. Perdebatan setuju dan tidak setuju bukan hanya ada di
pihak keluarga Sonya tetapi juga pada keluarga Karso. Namun kedua
pihak baik orang tua Sonya maupun orang tua Karso mengalah dan
menyerahkan sepenuhnya kepada anak anak mereka.
Sonya
dan Karso menikah secara Kristen di Gereja Pentakosta, namun Karso
belum siap untuk dibaptis untuk menjadi seorang Pentakosta, tetapi
memilih untuk mengikuti Aliran Kepercayaan (Kebathinan).
Perjalanan
rumah tangga mereka penuh suka cita apalagi setelah anak pertama
lahir. Perbedaan keimanan tidaklah menjadi penghalang dalam mengurus
rumah tangga dan mereka sangat bahagia tinggal di rumah kontrakan
berbilik bambu. Bertahun tahun Karso dan Sonya mengumpulkan uang
hingga akhirnya setelah anak ke 5 lahir mereka mampu membeli rumah
sendiri walau kecil.
Dengan
usahanya yang terus berkembang Karso merasa dirinya telah berhasil.
Tidak adanya suatu pegangan keimanan pada Karso, jiwanya mengambang
dan kesombonganpun menutupi mata hatinya.
Karso
kembali ke kehidupannya seperti sebelum menikah. Kembali berkumpul
dengan teman teman lamanya yang masih belum berubah tetap menjadi
preman, ada diantaranya kecanduan madat dan morfin. Hampir setiap
hari Karso pulang ke rumah hingga larut malam tanpa peduli lagi
dengan Sonya dan kelima anak anaknya. Hingga
saatnya Sonya tidak dapat lagi menahan
emosinya dan memukul mukul tubuh Karso saat melihat suaminya itu
pulang jam 1 malam dengan kondisi mabuk. Mereka bertengkar sangat
hebat hingga anak anak semua terbangun.
“kamu
berjanji akan merubah hidup kamu saat kamu melamar saya, lihatlah
kamu sekarang kembali ke masa lalu” maki Sonya
Karso
yang sudah kehilangan akal karena pengaruh minuman keras manampar
Sonya yang langsung tersungkur ke lantai kemudian Karso pergi ke luar
rumah dan baru kembali keesokan siang harinya. Itu adalah kekerasan pertama dan terakhir yang dilakukan oleh Karso terhadap Sonya.
Kejadian
malam itu membuat hubungan Sonya dan Karso tidak seharmonis dulu.
Karso lebih sering keluar rumah berkumpul dengan teman teman lamanya,
sedangkan Sonya sabar mengurus kelima anak anaknya dan setiap pagi
siang malam tekun berdoa dan memohon kepada Tuhan untuk menyadarkan
Karso agar kembali kepada keluarganya.
Usaha
Karso semakin meroket sukses namun penuh kehampaan dalam keluarganya.
Bertahun tahun hubungan yang tidak harmonis ini dijalani Sonya. Suatu
saat ketika Karso berusia 37 tahun, Karso terkena stroke akibat
terlalu banyak mengkonsumsi alkohol dan harus dirawat di rumah sakit,
Karso pun pasrah bila Tuhan memanggilnya. Saat itu Karso masih belum
memiliki suatu Keimanan yang pasti, dia hanya selalu menyatakan bahwa
dia adalah penganut Aliran Kepercayaan (Kebathinan). Di saat saat
sekaratnya itu, seorang Pastor tua mengunjungi Karso memberikan
Sakramen Perminyakan.
“Pastor,
bila saya sembuh saya akan menjadi baik” suara Karso lemah sekali
sepertinya telah siap kembali kepada Sang Pencipta.
“Bapak
Karso, janganlah berjanji bila bapak tidak dapat memenuhi janji
bapak. Percayalah, bila Tuhan
bersabda maka
bapak akan sembuh” sahut si Pastor.
Semakin
hari semakin berangsur baik kesehatan Pak Karso. Mobil dan hampir
semua harta bendanya dijual untuk berobat jalan dan usahanya pun
terbengkalai, sehingga Sonya harus menjalani usaha catering untuk
beberapa tahun lamanya. Uang penghasilan catering cukup untuk
keperluan keluarga sehari hari dan biaya sekolah anak anaknya. Selama
berobat jalan, Karso
berusaha keras agar usaha importirnya bangkit kembali.
Sepuluh
tahun sejak Karso menerima Sakramen Perminyakan, Karso dan Sonya
sepakat untuk menerima Sakramen Permandian untuk menjadi Katholik.
Karso
meninggalkan Aliran Kepercayaan (Kebathinan) nya dan Sonya
meninggalkan Pentakosta-nya yang telah dimilikinya sejak lahir.
Apa
yang tertulis di dalam Kitab Suci bahwa “Tiada Yang Mustahil Bagi
Allah” telah tergenapi dan terbukti dalam kehidupan keluarga Karso
dan Sonya.
Mereka
bukan hanya mendapati kembali keharmonisan rumah tangganya tetapi
mereka juga berhasil mendidik kelima anaknya untuk memiliki keimanan
yang kokoh untuk selalu berada di jalan Tuhan. Disamping
itu, kelima anaknya pun berhasil meraih gelas Sarjana dan Pasca
Sarjana dari Universitas di luar negeri. Dua
diantaranya kini menjadi
pengusaha yang sukses.
Beberapa minggu lagi Karso akan genap berusia 76 tahun dan Sonya yang kini berusia 74 tahun masih tetap setia mendampinginya.
Beberapa minggu lagi Karso akan genap berusia 76 tahun dan Sonya yang kini berusia 74 tahun masih tetap setia mendampinginya.
Tamat.
No comments:
Post a Comment