Dua
orang pria berjalan beriringan sambil ngobrol dengan pakaian yang
sudah basah kuyup, seakan hujan bukanlah penghalang bagi mereka untuk
saling bercerita dan tertawa.
“hari
ini gue dapet penumpang baik banget lho, Bon. Bayar ongkosnya
dilebihin 20 ribu perak”.
“Wah
untung banget luh, to, kagak kayak gue malah dapet penumpang gila
nuduh Taxi gue pake argo kuda segala, padahal emang dia yang duitnya
kurang”.
Demikianlah
obrolan dua
sahabat kental Suwito dan Bonar yang
sehari harinya bekerja sebagai supir Taxi.
“Bon,
sampai ketemu besok deh. Gue mau pulang langsung mandi nih biar gak'
sakit” ujar Suwito persis di depan rumah Bonar.
“Bang
Bonar koq' basah basah begitu ?” tanya Anggie istrinya yang selalu
setia menanti suami pulang kerja.
“iya
tuh si Suwito ngajak aku pulang tadi sebab kalau tunggu hujan akan
lama berhentinya”.
Rumah
Suwito hanya beberapa puluh meter jaraknya dari rumah Bonar.
Sedangkan kantor mereka terletak di jalan
raya yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit melalui
gang tikus.
Walaupun
baru saling mengenal kurang dari tiga tahun tetapi keluarga mereka
sepertinya sudah saling mengenal puluhan tahun. Di kala hari libur
kedua keluarga terkadang melakukan piknik bersama.
Suwito
dan Bonar memiliki hobby bermain catur, apalagi kalau esoknya libur
mereka bisa bermain sampai dini hari.
Suatu
sore setelah makan malam, Bonar melakukan persiapan yang dapat
dinikmati saat bermain catur bersama Suwito yang biasanya datang
setelah sembahyang Isya.
Sambil
mengharapkan kedatangan sahabatnya, Bonar menonton acara TV yang
membosankan, padahal jam sudah menunjukan angka 11 malam namun Suwito
masih juga belum datang, hand phone Suwito juga tidak aktive.
Nyala
lampu patromak di beranda rumah bergoyang-goyang ditiup angin, redup
cahayanya. Kabut lebat mengambang di jalan lengang seperti kota mati
yang ditinggalkan penduduk karena adanya bencana. Para tetangga
tertidur lelap menikmati udara malam yang kian dingin.
Bonar
pergi ke kamar untuk segera tidur.
“Suwito
tidak datang, bang ?” tanya Anggie. “Tidak. Mungkin dia ambil
lemburan malam ini atau sedang mempersiapkan strategy biar menang
catur melawanku besok pagi” canda Bonar.
Tidak
berapa lama kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu.
“hadeuuuhhh......kemana saja luh, to ? sudah jam 11 lewat 10, gue
pikir kagak jadi datang, luh”. “ayo masuk......ayo masuk, minggu
lalu gue kalah tapi malam ini gue lumat luh......hahahaaa......”
begitu reaksi canda bahagia Bonar menyambut Suwito.
Mereka
berdua segera mempersiapkan diri masing masing dengan menyeduh kopi
tubruk dan singkong rebus sebagai camilan yang sudah dipersiapkan
Bonar sejak sore tadi.
“Hari
ini gue bawa ibu hamil, kasihan juga ngeliatnya itu air ketuban sudah
pecah, udah gitu suaminya lagi tugas ke luar kota, mudah mudahan bayi
dan ibunya selamat” “gue juga kagak tega minta ongkos Taxi-nya,
biar aja itung itung amal dech”. Bonar memulai pembicaraannya
dengan Suwito yang malam itu masih lengkap mengenakan seragam
kerjanya.
Harum
kayu bakar di malam hari selalu dinanti Suwito dan Bonar saat
keduanya saling mengadu strategy memindahkan buah buah catur.
Layaknya
Anatoly Karpov
melawan Gary Kasparov, kedua sahabat ini serius sekali mengatur
strategy permainan caturnya. “Nah......bener
kan, to yang gue bilang, belum juga jam 3
pagi gue sudah hajar luh 3:0 hahaa.....” tawa Bonar bangga dengan
kemenangannya.
“ngomong
ngomong siapa yang bakar kemenyan malam malam yah, to ?” tanya
Bonar sambil mengendus ngenduskan hidung.
Suwito
yang sejak datang belum mengucapkan sepatah katapun masih mengerutkan
kening dengan tatapan tajam ke meja catur seperti seorang Maestro.
Begitu
azan Subuh terlantun. Suwito meregangkan tubuhnya dan berkata “Bon,
gue kagak punya teman yang baiknya seperti elu dan secocok dengan
elu. Gue sih kepengen banget kalau kita berteman terus sampai kakek
kakek. Gue mau pulang dulu yah. Tolong sampaikan sama Anggie gue
pamit pulang, jalan gue jauh sekali nih”.
“Ok
ok, gue juga ngantuk nih. Tumben luh pamitan sama istri gue, elu kan
tau kalau istri gue sudah tidur dari tadi, lagian memangnya elu mau
pulang kemana sih ? cuma jalan kaki sepuluh langkah nyampe juga pake
bilang jauh segala luh. Mengigau kali luh yah kalah 4:0 malam
ini......heheee......” canda Bonar.
Suwito
hanya tersenyum lalu melambaikan tangannya kemudian berlalu. Terlihat
jelas dari tatapan mata Suwito seakan dia masih ingin sekali ngobrol
dan bermain catur bersama sahabat karibnya itu.
Bonar
terbilang suami yang pengertian terhadap istri. Dia sudah terbiasa
merapihkan meja dan mencuci gelas bekasnya.
Baru
saja Bonar merebahkan tubuhnya di pembaringan terdengar suara ketuk
pintu agak keras sehingga membangunkan Anggie yang sedang pulas.
“pagi pagi buta begini siapa yang ketuk pintu yah, bang ?”
dor....dor.....dor.....ketukan pintu semakin keras dan bertubi tubi.
“Ang,
coba kau tengok dari jendela tapi jangan dibuka pintunya” sahut
Bonar yang langsung menyambar parang di balik pintu.
Anggie
bergegas ke ruang tamu dan mengintip dari jendela tapi sesaat
kemudian Anggie membuka pintu.
“Ada
apa, Sri ? koq’ kayaknya ada yang tidak beres” tanya Anggie
sambil memandangi wajah Sri yang pucat pasi. Sri
adalah istri Suwito.
“iya
Ang, saya mau kasih kabar suamiku mengalami kecelakaan kemarin
sekitar jam 11 malam dan..... dan..... sekarang
jenazahnya ada di RSCM” jawab Sri terputus putus dengan
isak tangis.
Bonar
yang masih mengenakan kain sarung dan menggenggam parang lari
tergopoh gopoh dari dalam rumah “siapa yang meninggal ? haaa…siapa
yang meninggal ?” lalu meletakan parangnya di atas meja tamu ketika
mengetahui yang datang adalah istri sahabat karibnya.
“ini
bang......Sri kasih kabar katanya Suwito dapat kecelakaan sekitar
jam 11 kamarin malam dan sekarang
jenazahnya ada di RSCM” sahut Anggie gemetaran.
“haaaa......mana
mungkin, setengah jam yang lalu baru pulang dari sini” teriak Bonar
tidak percaya dan panik.
“saya
juga baru dapat kabar dari petugas piket malam kantor, bang Bonar.
Pantasan dia tidak pulang ke rumah tadi malam” sahut Sri yang masih
terisak tangis.
“Lhooo......
Sri, suami kau si Suwito itu tadi malam datang ke sini main catur
denganku dan barusan pulang”.
“Tidak
tau lah, bang Bonar. Barusan Pak Joko – Supervisornya menelphone
saya, dia bilang jenazah Suwito sudah ada di kamar mayat RSCM, bang,
beberapa temannya yang bertugas malam juga sudah kumpul di sana”.
Lima
tahun sudah Suwito dimakamkan, namun Bonar masih belum dapat menerima
kenyataan bahwa sahabat karibnya itu telah tiada.
Lambaian
terakhir Suwito telah membuatnya sangat mengerti arti sebuah
persahabatan. Tak habis dimakan rayap, pun takkan lenyap menguap.
Kenangan indah akan selalu melekat dalam pribadi sahabat sejati.
Tamat.
No comments:
Post a Comment